Kisah Anak Penjual Sagu
(Makanan Khas Maluku)
Oleh : Y. Tuhumury, S.Pd
Di lereng sebuah bukit di pulau Ambon. hiduplah seorang pemuda bernama Jon bersama Ayah, Ibu dan saudaranya. Sejak kecil, Jon dikenal sebagai anak yang begitu rajin dan berbakti kepada orang tuanya. Setiap hari, sepulang sekolah, tanpa membuang waktu, Jon langsung bekerja. Kadang ia ke kebun membantu ayahnya menanam atau memanen, kadang ikut melaut menangkap ikan, bahkan dengan tidak merasa malu berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya menjajakan sagu (makanan Khas maluku dari bahan ubi kayu) buatan ibunya. 'tanta seng bli sagu' dari rumah-ke rumah Ia menawarkan jualannya, sering juga ia ketemu teman-teman satu sekolah yang kala itu sama-sama di jenjang SMP. Tetapi Jon tetap melakukannya dengan penuh semangat, bahkan terkadang sampai lupa akan rasa lelah.
Selain pekerja keras, Jon juga seorang yang taat beribadah. Di waktu luangnya, ia lebih memilih pergi ke rumah ibadah atau melakukan kegiatan kelompok remaja di lingkungan kampungya, tahu dengan kata lain ia tidak pernah ikut-ikutan nongkrong atau keluyuran dengan teman-temannya yang sering berkumpul hingga larut malam. Karena kebiasaannya ini, ia selalu tetap bugar dan semnagat dalam beraktivitas setiap hari.
Namun perbedaan Jon dengan teman-temannya terlihat jelas dari penampilannya. Sepatunya yang sudah kusam bahkan ada bagian yang sudah sobek yang sengaja ditutupinya setiap saat, seragam yang sudah lusuh karena hanya satu pasang sehingga harus di cuci dan dipakai lagi setiap hari, pakaian kesehariannya yang sudah tidak modif lagi. Jon pun tidak pernah menggunakan parfum atau pomade seperti teman-temannya. Hal ini seringkali menjadi bahan ejekan. "Lihat itu Jon, dekil sekali," bisik teman-temannya, tertawa remeh. Tapi Jon tidak pernah merasa malu. Ia justru tetap percaya diri dan tersenyum, terus menjalani aktivitasnya seperti biasa, tak sedikit pun goyah oleh perkataan mereka.
Waktu terus berjalan. Lima tahun berlalu sejak Jon lulus SMA. Ketekunan dan kerja kerasnya membuahkan hasil yang luar biasa. Dengan beasiswa, Jon berhasil meraih gelar sarjana dan kini telah memiliki pekerjaan yang mapan. Orang tuanya sangat bangga, tak henti-hentinya bersyukur atas karunia Tuhan.
Suatu sore, saat Jon sedang berjalan-jalan di pusat kota, ia tak sengaja berpapasan dengan beberapa teman lamanya yang dulu sering mengejeknya. Mereka tampak lesu dan kecapean sehabis kerja semrawutan. Dengan rasa canggung, salah satu dari mereka memberanikan diri menyapa Jon. "Jon, kamu sekarang sudah sukses sekali ya," katanya dengan nada penyesalan. "Coba saja dulu kami rajin belajar dan tekun seperti kamu, mungkin sekarang kami juga sudah bekerja seperti kamu."
Jon tersenyum tipis. Dengan rendah hati, ia menjawab, "Semua ini sudah diatur oleh Tuhan. Yang penting, tetap semangat menjalani hidup. Jangan menyerah." Kata-kata Jon yang tulus itu menyentuh hati teman-temannya. Mereka merasa malu sekaligus terinspirasi.
Sejak saat itu, Jon semakin menyadari bahwa ketekunan, kesabaran, dan ketulusan hati akan selalu membawa pada kebaikan, dan bahwa setiap ejekan atau hinaan hanyalah kerikil kecil yang tidak akan pernah bisa menghalangi seseorang untuk mencapai impiannya.
Kisah Jon menjadi inspirasi bagi banyak orang di kampung itu, Â serta membuktikan bahwa karakter dan usaha keras jauh lebih berharga daripada penampilan semata.