Mitos dalam Budaya Populer
Yang menarik, semua konstruksi cinta romantis di atas tidak disadari oleh sebagian besar penonton. Justru karena Dilan 1990 disajikan dalam bentuk kisah cinta yang manis, penonton dengan mudah menerima narasi tersebut sebagai "normal" bahkan "ideal".
Barthes menyebut ini sebagai "naturalization of myth" --- proses di mana sesuatu yang dibuat manusia (cultural construct) terasa seolah-olah kodrat (natural). Dalam hal ini, cinta posesif, cowok nakal tapi manis, serta cewek sabar dianggap sebagai bagian dari cinta yang wajar dan harus diterima.
Mengapa Kita Perlu Kritis?
Bukan berarti kita tidak boleh menikmati film seperti Dilan 1990. Kita tetap bisa tertawa, baper, dan bahkan mengenang masa-masa SMA sambil menikmati gaya bicara Dilan yang puitis dan "beda". Tapi di balik semua itu, sebagai generasi muda yang hidup dalam banjir informasi dan arus media yang sangat deras, kita dituntut untuk memiliki sikap kritis.
Mengapa? Karena film, lagu, sinetron, dan iklan tidak hanya hadir untuk menghibur. Mereka juga membawa pesan-pesan tersembunyi --- atau dalam istilah Roland Barthes, mitos --- yang membentuk cara kita memandang hidup, cinta, relasi, bahkan diri kita sendiri. Tanpa kita sadari, media membentuk "standar" bagaimana cinta seharusnya dirasakan, diungkapkan, dan dijalani.
Ketika tokoh seperti Dilan dianggap sebagai gambaran pasangan ideal --- padahal sikapnya bisa tergolong posesif dan dominan --- kita perlu bertanya: apakah ini gambaran cinta yang sehat, atau hanya romantisasi yang dibungkus dengan puisi dan jaket motor? Kalau tidak kritis, bisa jadi kita menerima begitu saja bahwa cinta yang baik harus penuh drama, rasa cemburu yang berlebihan, atau kontrol terhadap pasangan.
Bersikap kritis bukan berarti anti hiburan. Justru sebaliknya: dengan berpikir kritis, kita bisa menikmati hiburan sambil memahami nilai-nilai yang tersembunyi di dalamnya. Kita tidak menolak karya seni, tapi mengajak diri untuk tidak mudah terbawa arus simbol-simbol yang bisa jadi membentuk pola pikir yang keliru.
Di era digital ini, menjadi penonton pasif bukan lagi pilihan. Kita harus menjadi pembaca aktif --- yang tidak hanya menikmati layar, tetapi juga membaca makna di baliknya.
Dengan membaca film secara semiotik, kita bisa memahami bagaimana nilai-nilai sosial direproduksi. Dan dengan kesadaran ini, kita bisa menciptakan ruang baru bagi bentuk cinta yang lebih setara, komunikatif, dan sehat --- bukan hanya berdasarkan gombalan, tapi juga kesalingan.
Penutup: Antara Fiksi dan Realitas