Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Cacat Logika" tentang BUMN

14 Juli 2021   12:52 Diperbarui: 15 Juli 2021   16:28 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi meninjau pelaksanaan vaksinasi di Gelora Bung Karno. Foto

Ciri utama dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah pada komposisi kepemilikan saham di mana negara diwajibkan memiliki sekurang-kurangnya 51 persen (mayoritas). Tujuannya agar pengendalian BUMN berada di tangan negara. Oleh karenanya menyebut BUMN hanya sebagai entitas bisnis yang lepas dari kepentingan dan politik negara menjadi cacat logika paling mendasar.

Ada dua tugas utama yang diemban BUMN. Pertama, tugas sebagai korporasi dengan tujuan mencari untung sebesar-besarnya melalui usaha yang dijalankan.

Kedua, melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai bidangnya. Hal ini berkaitan dengan kepemilikan saham mayoritas BUMN yang dimiliki pemerintah. Di dalamnya juga terdapat penyertaan modal pemerintah.

Tugas itu juga sesuai poin kedua fungsi BUMN yakni sebagai alat pemerintah dalam menata kebijakan perekonomian. Negara dapat menugaskan BUMN untuk melaksanakan kebijakan politik di bidang ekonomi. Contoh nyata dalam konteks ini adalah pemberlakuan BBM satu harga di wilayah-wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T) yang menjadi kebijakan politik pemerintah.

Dalam menjalankan tugas tersebut PT Pertamina (Persero) Tbk pernah mengalami kerugian sangat besar karena cost produksi dan terutama distribusi tidak seimbang dengan harga jual. Namun Pertamina tetap wajib melaksanakan karena sudah menjadi kebijakan pemerintah (baca: presiden).  

Bagaimana dengan PT Kimia Farma (Persero) Tbk terkait pro-kontra vaksin berbayar? Mengapa kita harus menolak wacana itu?

Dalam tulisan sebelumnya diilustrasikan vaksin berbayar ibarat dalam sebuah bencana alam pemerintah datang dengan membawa dua kapal. Kapal tongkang untuk mengangkut warga terdampak bencana secara gratis, sedang kapal pesiar dipajaki melalui tiket berbayar. Tidak ada paksaan. Bebas memilih.

Karena itu hanya ilustrasi maka mungkin perlu penjabaran agar bisa dimengerti dan dipahami mengapa wacana vaksin berbayar mencederai rasa keadilan.

Penjelasan tentang kapal tongkang. Saat ini pelaksanaan vaksinasi dilakukan secara massal di berbagai tempat dengan kapasitas besar. Berdasar pengalaman pribadi, meski pelaksanaannya sudah bagus namun tetap dibutuhkan waktu cukup lama untuk sampai mendapat giliran.

Di beberapa tempat bahkan sempat terjadi penumpukan karena minimnya meja eksekusi dibanding jumlah masyarakat yang datang untuk divaksin. Hal itu dapat dimaklumi karena pemerintah tengah kekurangan tenaga kesehatan. Pengerahan tenaga kesehatan dari TNI/Polri cukup membantu tetapi masih ada kekurangan tenaga kesehatan di beberapa daerah.

Artinya untuk mencapai target vaksinasi, selain memperbanyak stok dan distribusi vaksin, juga tenaga kesehatan.    

Lalu tiba-tiba (disebut tiba-tiba karena sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menjamin vaksinasi untuk rakyat gratis) muncul wacana vaksin berbayar setelah ada kesepakatan Bio Farma selaku holding BUMN klaster kesehatan dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Bio Farma lantas menugaskan Kimia Farma untuk melaksanakan vaksin berbayar yang ditanggung perorangan (sebelumnya vaksin gotong royong di mana biayanya ditanggung perusahaan)

Jika tetap pada konsep gotong royong di mana Bio Farma mensuplai vaksin kepada perusahaan dan proses vaksinasi dilaksanakan di perusahaan bersangkutan. Tentu yang dikirim bukan hanya vaksin, tetapi juga tenaga kesehatan.

Pertanyaan paling gampang adalah apakah Kimia Farma memiliki tenaga kesehatan sendiri dalam jumlah besar untuk melakukan vaksinasi ke perusahaan-perusahaan. Jika iya, di manakah sekarang ketika banyak daerah sedang kekurangan tenaga kesehatan? Jika belum, berapa lama proses rekrutmen yang dibutuhkan sementara semua tenaga kesehatan, termasuk calon dokter, sudah dikerahkan untuk membantu pemerintah?

Jika punya tenaga kesehatan dan saat ini sedang membantu pemerintah melaksanakan program vaksinasi gratis, apakah nantinya akan ditarik setelah program vaksin berbayar berjalan?

Ketika diubah menjadi perorangan, berapa banyak outlet untuk suntik vaksin terkait ketersediaan tenaga kesehatannya. Ingat, dalih yang digaungkan adalah menbantu percepatan vaksinasi. Dengan demikian harus ada ketersediaan outler dalam jumlah besar. Jika hanya ribuan per hari, tentu sulit memenuhi kriteria percepatan vaksinasi yang dimaksud.

Mari kita andaikan semua berjalan dengan baik. Kimia Farma melaksanakan program vaksinasi berbayar. Bukankah pelayanannya akan berbeda dengan vaksinasi gratis? Catat ini, program vaksinasi berbayar pasti tidak akan dilaksanakan di lapangan terbuka! Bahkan mungkin akan membuka layanan ke rumah-rumah (yang tadinya ke perusahaan-perusahaan). Bukankah sangat nyaman selayaknya naik kapal pesiar?

Seperti tulisan terdahulu, kali ini penulis pun tidak menyoroti secara khusus terkait narasi negara berbisnis - mencari untung. Hanya disematkan sebagai "jika". Sorotan utamanya adalah tentang kesetaraan perlakuan dalam kondisi kedaruratan. Jangan memberi pilihan kepada masyarakat atas dasar duit apalagi di tengah pandemi.

Ini bukan soal mau atau tidak mau, mampu atau tidak mampu. Ini soal kesetaraan perlakuan di masa darurat. Jangan karena tidak punya duit disuruh antri di stadion (ibarat naik tongkang), sementara yang punya duit didatangi atau dieksekusi di ruang mewah (ibarat kapal pesiar).  

Sekali lagi, negara jangan membeda-bedakan perlakuan atas dasar kaya dan miskin, mampu dan tidak mampu. Jika benar ingin mengejar herd immunity, mestinya semua daya dikerahkan. Bila perlu BUMN kesehatan membagikan vaksin yang dimiliki untuk membantu pemerintah sebagaimana Pertamina melaksanakan program satu harga BUMN di daerah 3T.

Jika ada yang menganggap tulisan tentang ilustrasi dua kapal sebagai out of topic dari bahasan tentang vaksin berbayar, penulis curiga ada yang baru tersedak ikan merah.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun