Kita juga bisa memprotes tanpa menampilkan ekspresi ketus. Ekspresi merah padam karena marah yang parah kepada siapa pun yang menyebabkan hal itu terjadi. Caranya dengan menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dada dalam bentuk tulisan.
Tulisan yang terlahir dari amarah yang terkontrol dapat menjadi obat mujarab. Ia bisa menjadi panasea bagi mereka tak mampu menguasai emosi. Tulisan itu bisa memberi pembelajaran berharga para pembaca. Dalam artian mereka bisa mengikuti menusur cara berpikir kita. Alur berpikir tentang bagaimana bersikap ramah terhadap amarah.
Demikian apa yang aku rasa, alami dan lakukan. Karena itu aku membagikannya untukmu pembaca yang budiman. Kendati sesungguhnya aku meyakini bahwa para sahabat pembaca sejati telah mengetahuinya dengan lebih baik. Itulah keyakinanku.
Jadi tulisan ini hanya sekedar untuk membuka pintu gudang memori Anda. Sehingga Anda mau mengintip lagi karya-karya yang telah lama rapi tersimpan, mengambil dan meremajakannya. Lalu menghidangkannya kembali di hadapan khalayak pembaca.
Akhirnya aku ingin menutup dengan ini. Bahwa kreativitas menulis akan terus terawat dengan baik jika penulis gigih menepis kritik yang tak mendidik. Oleh karena itu, hardiklah kritik yang bikin diri bergidik agar sukma tidak terpapar trauma.
Sebab jika sukma seorang penulis mengalami trauma, ia akan kehilangan percaya diri untuk menulis lagi. Â Maka jangan biarkan rasa dan nalar tersayat sembilu hujat supaya jari jemari bebas menari lahirkan karya hebat.
Tabe!Â
Tilong-Kupang, NTT
Jumat, 9 Juli 2021 (12.00 wita)