Oleh: Yohanes Manhitu
Bagi para pencinta multilingualisme
Seekor kodok pun akan tertawa terbahak-bahak
mendengar aku berandai-andai punya sejuta lidah.
Sepasang sepatu pun akan terlepas dari kaki kakek
akibat terpingkal-pingkal mengolok ocehan indah.
Kutak peduli pada kodok bodoh juga sepatu busuk
yang mustahil pahami alam pikiran antikurungan.
Kuhanya ingin berdialog empat mata dengan jagat
dengan lidah yang sama, tanpa reduksi semantis.
Tak ingin kuteladani kodok yang cinta tempurung.
Tak jua ingin kuterus kecup bumi bersama sepatu.
Dengan sejuta lidahku, kuingin jadi sahabat jagat.
Kurindu menghibur alam semesta dengan syair.
Kusadar, kupunya hanya satu lidah yang kelu
'tuk terus lontarkan sejuta mantra melompong,Â
'tuk panjatkan litani indah bagi penghuni firdaus.
Kuharap lidahku selincah gerak bocah enggan tidur.
Mungkin tak perlu kupunya sejuta lidah yang gemulai
karena kutakut dihujam sejuta bilah belati sang maut.
Biar kupunya hanya satu lidah agar tak absen kuurus
dan agar tak banyak rasa asing yang mesti kukecap.
Baciro, Yogyakarta, 17 Desember 2003