Penelitian menunjukkan bahwa otak belum siap untuk mengelola stimulasi konstan dan godaan adiktif dari smartphone sebelum usia ini. Dengan menunda akses, kita memberi otak waktu untuk mengembangkan sistem kontrol impuls yang lebih matang.
Reformasi Kedua: Tidak Ada Media Sosial Sebelum Usia 16 Tahun
Biarkan otak remaja melewati fase pubertas yang paling rentan sebelum mereka terpapar pada mesin perbandingan sosial dan pengaruh algoritma. Undang-undang harus menaikkan batas usia minimum untuk platform media sosial menjadi 16 tahun dan menegakkannya dengan sistem verifikasi usia yang kuat.
Periode antara usia 11-15 tahun adalah periode ketika identitas sedang terbentuk dan remaja sangat rentan terhadap tekanan sosial. Melindungi mereka dari tekanan media sosial selama periode kritis ini dapat memberikan mereka waktu untuk mengembangkan sense of self yang lebih stabil.
Reformasi Ketiga: Sekolah Bebas Ponsel
Sekolah harus mewajibkan siswa untuk menyimpan ponsel mereka di loker atau kantong terkunci dari bel masuk hingga bel pulang. Ini bukan hanya tentang menghindari gangguan di kelas, tetapi tentang mengubah seluruh budaya sekolah.
Ketika ponsel dihilangkan, siswa secara otomatis lebih banyak berinteraksi satu sama lain. Mereka berbicara di koridor, bermain di jam istirahat, dan mengembangkan keterampilan sosial yang selama ini terhambat oleh kehadiran smartphone. Guru melaporkan peningkatan dramatik dalam keterlibatan siswa dan kualitas diskusi kelas.
Reformasi Keempat: Lebih Banyak Permainan Bebas dan Kemandirian Anak
Hidupkan kembali masa kecil berbasis permainan. Dorong anak-anak untuk bermain di luar, mengambil risiko yang wajar sesuai usia, dan menyelesaikan konflik mereka sendiri tanpa intervensi langsung orang dewasa. Beri mereka tanggung jawab yang bertambah seiring dengan bertambahnya usia.
Ini mungkin yang paling menantang karena memerlukan perubahan budaya yang luas. Orangtua perlu mengatasi ketakutan mereka sendiri dan mempercayai anak-anak mereka. Komunitas perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman namun tidak overprotektif.
Konteks Indonesia: Tantangan dan PeluangÂ