YOGI SAPUTRA NURDIANSYAH / 191251220Â
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKATÂ
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sejarah Keluarga Berencana (KB) di Indonesia berawal pada 23 Desember 1957 dengan berdirinya PKBI. Pada masa Orde Baru, lahir BKKBN melalui Keppres No. 8 Tahun 1970 yang kemudian berkembang menjadi lembaga pemerintah di bawah Presiden. Selama Pelita I--VI, program KB diperkuat lewat berbagai strategi operasional dan ditopang oleh UU No. 10 Tahun 1992. Pasca reformasi, pelaksanaan KB terdesentralisasi sesuai amanat UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004. Kemudian, UU No. 52 Tahun 2009 menetapkan BKKBN sebagai Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dengan visi "Penduduk Tumbuh Seimbang 2015" serta misi membangun keluarga kecil bahagia sejahtera. Hingga kini, BKKBN tetap menjalankan perannya dalam pengendalian penduduk, peningkatan kualitas keluarga, dan pembangunan sumber daya manusia Indonesia.Â
Setiap tahun lebih dari empat juta bayi lahir di Indonesia tanpa perencanaan yang matang, kondisi yang berpotensi menimbulkan masalah sosial, ekonomi, pendidikan, serta kesehatan ibu dan anak. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah menghadirkan program Keluarga Berencana (KB) sebagai strategi pembangunan kesehatan masyarakat. Sejak awal pelaksanaannya, KB menuai pro dan kontra karena sebagian masyarakat menilai program ini penting dalam menekan angka kematian ibu dan anak, sementara yang lain menganggapnya bertentangan dengan norma budaya dan ajaran agama. Meski demikian, seiring waktu KB terbukti memberi manfaat nyata dengan membantu mengatur jarak kelahiran, mencegah kehamilan tidak terencana, meningkatkan kesejahteraan keluarga, dan berkontribusi dalam pengendalian pertumbuhan penduduk serta pembangunan berkelanjutan.Â
Hasil penelitian Budi Utomo dari FKM UI menunjukkan bahwa program Keluarga Berencana (KB) mampu menjaga angka kelahiran tahunan tetap stabil pada kisaran 4,6--5,2 juta jiwa, meskipun jumlah perempuan usia subur meningkat hampir 40% dari 1970 hingga 2017. Stabilitas ini berkontribusi pada pencegahan sekitar 523.000--663.000 kematian ibu atau setara penurunan 37,5--43%. Proyeksi ke depan menunjukkan, jika angka pemakaian kontrasepsi naik dari 63% pada 2017 menjadi 70% pada 2030 dan unmet need turun dari 10% menjadi 7%, maka 34.000--37.000 kematian ibu dapat dicegah. Tantangan terbesar tetap terletak pada ketidakmerataan akses layanan kontrasepsi di berbagai daerah. Oleh karena itu, peningkatan pemerataan layanan kesehatan reproduksi menjadi kunci keberhasilan KB di masa depan.Â
Meskipun program Keluarga Berencana (KB) dinilai mampu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, penerapannya tidak lepas dari berbagai hambatan. Di sejumlah daerah, budaya masih memandang banyak anak sebagai simbol rezeki sehingga upaya membatasi kelahiran sering ditolak. Perbedaan tafsir agama juga menambah kerumitan, bahkan ada kelompok yang mengharamkan kontrasepsi karena dianggap menentang takdir Tuhan. Selain itu, keterbatasan akses layanan dan rendahnya literasi membuat sebagian masyarakat masih percaya mitos kontrasepsi, sementara ketidaksetaraan gender menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling dibebani, sehingga KB kerap dipersepsikan hanya sebagai tanggung jawab mereka.Â
Program KB terbukti bermanfaat bagi kesehatan ibu, anak, dan pembangunan nasional, namun penerapannya tidak lepas dari tantangan budaya dan agama. Sebagian masyarakat masih menganggap banyak anak sebagai simbol rezeki, bahkan ada kelompok yang mengharamkan kontrasepsi. Ditambah lagi, kesenjangan akses layanan dan rendahnya literasi kesehatan membuat penerimaan KB tidak merata. Karena itu, meski penting, KB perlu dijalankan dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat, serta edukasi berbasis kearifan lokal agar lebih diterima secara luas.Â
KATA KUNCI : KB, Â Manfaat, Sejarah, Tantangan.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Utomo, B., Sucahya, P.K., Romadlona, N.A., Robertson, A.S., Aryanty, R.I. & Magnani, R.J., 2021. The impact of family planning on maternal mortality in Indonesia: what future contribution can be expected? Population Health Metrics, 19(2), pp.1--13. Â Â