Mohon tunggu...
Yogie Pranowo
Yogie Pranowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Jakarta

Lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1989. Kemudian lulus dari magister Filsafat di Stf Driyarkara tahun 2017. Buku yang sudah terbit antara lain: Perempuan, Moralitas, dan Seni (Ellunar Publisher, 2018), dan Peran Imajinasi dalam Karya Seni (Rua Aksara, 2018). Saat ini aktif menjadi sutradara teater, dan mengajar di beberapa kampus swasta, serta menjadi peneliti di Yayasan Pendidikan Santo Yakobus, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menimbang Ulang Eksistensialisme Lewat "Waiting for Godot"

1 April 2020   10:31 Diperbarui: 1 April 2020   10:29 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waiting for Godot - ilustrasi pribadi

Jika dilihat secara sepintas, waiting for Godot hanyalah drama yang tidak berkonsep. Ia membicarakan begitu banyak hal, mulai dari hal remeh hingga hal hal yang berbau teologis. Namun, jika kita mau melihat lebih jauh lagi, sesungguhnya drama ini sangat rumit. Kerumitan yang dimaksud disini adalah karena drama ini merupakan drama yang bergenre absurd. Apa yang disampaikan baik lewat dialog maupun perilaku tokohnya nampak aneh dan tak jelas. Tetapi, justru ketidakjelasan itulah yang menjadi kunci keberhasilan Beckett. Ia berhasil meramu sebuah pementasan yang fenomenal, karena ketidakjelasan itu merupakan gambaran dari manusia masa kini. Manusia yang seharusnya menjadi subjek kehidupan telah terdistorsi oleh banyak factor, dan ia telah menjadi makluk makluk yang tidak mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu dalam Waiting for Godot, nampak jelas para tokohnya mengalami disorientasi waktu dan tempat. Dari semua dialog yang diucapkan oleh para tokoh nampak jelas bahwa tidak ada satu pembicaraanpun yang selesai ataupun mencapai suatu kesimpulan yang berarti. Waiting for Godot adalah sebuah kesia siaan yang boros. Sebuah penantian yang tak kunjung usai. Gambaran tentang manusia yang impoten, tak bisa ereksi, tak bisa menentukan hidupnya dan hanya bergantung pada sang Godot itu sendiri. Drama ini sungguh mengisahkan tentang eksistensi manusia yang kerdil. Kekerdilan itu terejawantahkan dalam diri para tokoh. Demikianlah pada akhirnya Godot pun tak akan pernah muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun