Mohon tunggu...
Yogie Pranowo
Yogie Pranowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Jakarta

Lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1989. Kemudian lulus dari magister Filsafat di Stf Driyarkara tahun 2017. Buku yang sudah terbit antara lain: Perempuan, Moralitas, dan Seni (Ellunar Publisher, 2018), dan Peran Imajinasi dalam Karya Seni (Rua Aksara, 2018). Saat ini aktif menjadi sutradara teater, dan mengajar di beberapa kampus swasta, serta menjadi peneliti di Yayasan Pendidikan Santo Yakobus, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menimbang Ulang Eksistensialisme Lewat "Waiting for Godot"

1 April 2020   10:31 Diperbarui: 1 April 2020   10:29 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waiting for Godot - ilustrasi pribadi

Perdebatan tentang hubungan teater dan politik sudah bergulir sejak lama. Sejak masa Aristoteles perdebatan tersebut sudah diributkan. Di satu sisi teater dinyatakan sebagai kontemplasi murni; di sisi lain teater dipandang selalu menyajikan gambaran tentang dunia yang bertransformasi, sehingga niscaya bersifat politis sejauh di situ ditunjukkan sarana untuk melaksanakan atau menunda transformasi itu. 

Perdebatan itu sebenarnya dapat diringkas menjadi: apakah seni itu harus melulu idealis atau sekadar hiburan semata? Masih perlukah idealisme dalam berteater? Sejarah pun mencatat, sejak zaman Yunani Kuno hal ini sudah kadung dibicarakan. 

Aristhopanes mengatakan bahwa dramawan/seniman sebaiknya tidak hanya memberikan rasa senang melainkan juga menjadi guru moralitas dan penasehat politik. 

Erasthotenes menentangnya, ia menegaskan bahwa fungsi seni(man) adalah untuk mengikat jiwa pendengarnya dan bukan mengajar. Senada dengannya, Plato berpikir bahwa penyair-penyair dan atau juga seniman-seniman itu sebaiknya diusir dari republik karena seni hanya masuk akal ketika mengagungkan sosok sosok dan perbuatan yang harus diteladani lebih lanjut lagi ia mengatakan bahwa secara hakiki teater mengimitasi hal-hal yang ada di dunia, padahal dunia tidak lebih dari sekadar imitasi idea-idea -- maka teater adalah imitasi dari imitasi. 

Aroma negatif yang keluar dari mulut sang filsuf itu lambat laun membuat para seniman tak senang dengan Plato, maka jangan heran kalau dalam ranah teater masa kini, teater aristotelian lebih banyak diterima oleh banyak kalangan ketimbang yang platonik. Perdebatan yang hingga kini tak kunjung usai tersebut menjadi bukti bahwa sesungguhnya hidup kita pada dasarnya adalah absurd,  sebagaimana mitos sysipus yang ditulis oleh Albert Camus dalam pemikirannya mengenai absurditas kehidupan. Namun apakah benar demikian? Apakah hidup kita melulu soal ketidakjelasan? Dan bukankah hidup itu bukan soal hitam dan putih saja?

Untuk memahami konsep absurditas secara lebih menyeluruh, saya akan mencoba untuk menganalisa sebuah naskah drama berjudul Waiting for Godot sebagai titik pijak teater absurd. Waiting for Godot merupakan sebuah naskah drama yang sudah beberapa kali dipentaskan. Naskah ini pertama kali dipentaskan di Paris pada tanggal 5 januari 1953. Naskah aslinya berbahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa termasuk bahasa Indonesia. Waiting for godot mulai ditulis pada tanggal 9 Oktober 1948 dan selesai pada tanggal 29 Januari 1949. Naskah drama ini terdiri dari dua babak. Babak I dan babak II menunjukkan setting tempat dan waktu yang sama, yaitu di suatu jalan di desa pada suatu senja. Pada jalan itu terdapat sebuah pohon. Pada babak I, pohon itu tanpa daun, dan pada babak II sudah muncul beberapa helai daun. Tokoh yang terdapat dalam naskah ini hanya lima orang, yakni Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, serta Boy. Namun dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh tersebut muncul nama Godot, ialah tokoh yang mereka nantikan. Godot tidak muncul dalam teks drama secara konvensional dalam artian hanya ada nama tokoh dan dialog tetapi hanya dalam ucapan tokoh tokoh yang membicarakannya. Dengan kata lain, kehadiran Godot adalah "ex absentia", yakni keberadaan dari ketiadaan. Ia dibicarakan terus menerus namun ia tidak muncul. Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian itulah ia menunjukkan kekuasaannya dalam hal daya paksanya terhadap Vladimir dan Estragon untuk tetap menunggunya datang.

Pada judul buku naskah drama ini tertulis: Waiting for Godot, tragicomedy in two acts, by Samuel beckett, grove press, inc. new York. 1954. Kata tragicomedy dalam judul tersebut dapat kita pahami sebagai istilah yang digunakan oleh Beckett untuk mengisyaratkan bahwa dalam drama tersebut ada dua unsur yang saling bertalian satu sama lain yakni, tragedi dan komedi. Namun pengertian komedi dalam naskah ini tidak dapat dipahami dalam artian yang umum, tetapi mengacu pada pengertian yang oleh Ionesco disebut "the intuition of the absurd". Absurditas itu bersumber pada "sense of incongruity", tatkala manusia merenungkan keberadaannya di tengah alam semesta. (lih. J. Blakey, Waiting for Godot, Coles Notes (New York: Coles Publishing Company Ltd., 1979) hal 40-41.)

Absurd yang dimaksud disini adalah situasi dimana manusia tidak menemukan kepastian dalam hidupnya sehingga ia menjadi aneh, tak jelas, dan serba bingung (confuseness). Dalam drama ini, para tokoh dihadapkan dengan persoalan menunggu kedatangan Godot. Mereka berharap Godot segera datang, namun penantian mereka sia-sia karena hingga akhir dramapun dikisahkan bahwa godot tak pernah muncul.

Waiting for Godot: Beberapa Catatan

Estragon, sitting on a low mound, is trying to take off his boot. He pulls at

it with both hands, panting. He gives up, exhausted, rests, tries again.

As before.

Enter Vladimir.

ESTRAGON          : (giving up again). Nothing to be done.

VLADIMIR            : (advancing with short, stiff strides, legs wide apart). I'm

  beginning to come round to that opinion. All my life I've tried to put it from

  me, saying Vladimir, be reasonable, you haven't yet tried everything. And I

  resumed the struggle. (He broods, musing on the struggle. Turning to

  Estragon.) So there you are again

Pada awal babak pertama, muncul tokoh Estragon yang sibuk dengan sepatu bootnya. Ia mencoba terus menerus untuk membuka sepatunya itu namun gagal. Ketika Estragon sibuk dengan usaha melepaskan sepatunya itu, Vladimir dengan kerasionalannya mencoba memberikan argumen filosofis "All my life I've tried to put it from me, saying Vladimir, be reasonable, you haven't yet tried everything. And I resumed the struggle". Nampak bahwa Estragon merupakan tokoh yang mudah putus asa, ia dipenuhi oleh kekesalan yang luar biasa manakala ia tidak bisa melepaskan sepatunya.

VLADIMIR            : (advancing with short, stiff strides, legs wide apart). I'm

                  beginning to come round to that opinion. All my life I've tried to put it from

   me, saying Vladimir, be reasonable, you haven't yet tried everything. And I

   resumed the struggle. (He broods, musing on the struggle. Turning to

  Estragon.) So there you are again.

ESTRAGON          : Am I?

VLADIMIR            : I'm glad to see you back. I thought you were gone forever.

ESTRAGON          : Me too.

VLADIMIR            : Together again at last! We'll have to celebrate this. But how? (He

   reflects.) Get up till I embrace you.

ESTRAGON          : (irritably). Not now, not now.

Pada kesempatan lain, nampak bahwa selain terikat oleh Godot, mereka juga terikat antara satu dengan lainnya. Dialog diatas ingin menggambarkan betapa pentingnya kebersamaan diantara mereka. Mereka adalah teman seperjuangan. Sama sama sedang menunggu Godot, sama sama tidak tahu apa yang harus dilakukan sehingga mereka seringkali membicarakan suatu topik namun tidak selesai.

VLADIMIR            : When I think of it . . . all these years . . . but for me . . .

   where would you be . . . (Decisively.) You'd be nothing more than a little

   heap of bones at the present minute, no doubt about it.

ESTRAGON          : And what of it?

VLADIMIR            : (gloomily). It's too much for one man. (Pause. Cheerfully.) On the

   other hand what's the good of losing heart now, that's what I say. We should

  have thought of it a million years ago, in the nineties.

Vladimir mencoba menghibur Estragon yang nampak sedih. Ia mengajak Estragon untuk kembali mengingat masa jayanya dulu. Bahwa dulu mereka adalah orang orang terhormat. Mereka berjalan diantara orang orang penting dan mereka bersama bergandengan tangan menuruni menara Eifel. Selain bangga dengan masa lalunya, Vladimir juga tampil bagaikan seorang pemimpin agama yang kerapkali bijaksana dalam menjelaskan suatu keadaan dalam Kitab Suci, namun sesungguhnya ia bingung dan tak tahu apa maksud dari isi cerita tersebut. Sikap Vladimir yang seperti ini mirip dengan sikap manusia kebanyakan yang banyak bicara tetapi sesungguhnya apa yang dibicarakan tidak dipahami sepenuhnya. Sikap seperti ini timbul karena gengsi dan rasa ingin dipandang dan dihormati. Sebab yang membuat seseorang menjadi hebat adalah orang lain. Manusia butuh apresiasi dari yang lain. Manusia yang hebat tidak akan menjadi hebat jika kehebatannya tidak diakui oleh yang lain. Relasi yang demikian ini menjadikan manusia sebagai subjek yang entah sadar ataupun tidak mengobjekkan yang lain. Melalui tatapannya manusia membuat yang lain menjadi seperti apa yang ia inginkan.

VLADIMIR            : Ah yes, the two thieves. Do you remember the story?

ESTRAGON          : No.

VLADIMIR            : Shall I tell it to you?

ESTRAGON          : No.

VLADIMIR            : It'll pass the time. (Pause.) Two thieves, crucified at the same

  time as our Saviour. One---

ESTRAGON          : Our what?

VLADIMIR            : Our Saviour. Two thieves. One is supposed to have been saved and the

  other . . . (he searches for the contrary of saved) . . . damned.

ESTRAGON          : Saved from what?

VLADIMIR            : Hell. (...)

  One out of four. Of the other three two don't mention any thieves at

  all and the third says that both of them abused him. (...)

ESTRAGON          : What's all this about? Abused who?

VLADIMIR            : The Saviour.

ESTRAGON          : Why?

VLADIMIR            : Because he wouldn't save them.

ESTRAGON          : From hell?

VLADIMIR            : Imbecile! From death.

ESTRAGON          : I thought you said hell.

VLADIMIR            : From death, from death. (...)

ESTRAGON          : And why not?

VLADIMIR            : But one of the four says that one of the two was saved.

ESTRAGON          : Well? They don't agree and that's all there is to it.

VLADIMIR            : But all four were there. And only one speaks of a thief being saved.

  Why believe him rather than the others?

ESTRAGON          : Who believes him?

VLADIMIR            : Everybody. It's the only version they know.

Vladimir mengatakan bahwa salah seorang pencuri diselamatkan karena ia mengakui dosanya, oleh karena itu mereka juga harus mengakui dosa dosa mereka, namun Estragon tidak tahu dosa apa yang harus ia akui. Ia juga tidak begitu paham tentang siapa sang penyelamat itu. Estragon juga mengatakan bahwa injil itu ditulis oleh empat orang, tetapi mengapa hanya seorang yang bicara tentang kisah dua orang penjahat itu, bahkan Estragon mempersoalkan apa sebenarnya isi injil itu sendiri. Walaupun Vladimir dan Estragon merupakan orang yang tidak begitu jelas asal usul dan latar belakang pendidikannya, namun mereka mendiskusikan hal yang mungkin orang lain tidak pedulikan.

"nothing to be done" atau dalam bahasa aslinya "rien faire". Perkataan ini sering diucapkan oleh Vladimir dan Estragon setiap kali mereka menghadapi kebuntuan, ketidakmungkinan, serta kegagalan. Perkataan tersebut diucapkan secara bervariasi dengan nada dasar yang sama, yakni keputusasaan. Hal ini menggambarkan dalam setiap kebuntuan yang dialami oleh manusia tanpa terkecuali, mereka akan mengeluh, namun seperti dalam teks ini, dikatakan bahwa setiap kali mereka (Vladimir dan Estragon) mengingat akan Godot yang mereka nantikan, mereka akan kembali bersemangat. Sama halnya seperti manusia yang sering menggantungkan hidup mereka pada kehadiran dan bantuan Tuhan begitu saja. Seakan Tuhanlah yang bertanggungjawab sepenuhnya akan hidup manusia. Ketika manusia mengalami hal yang tidak mengenakkan mereka lari kepada-Nya, namun ketika manusia dalam keadaan senang dan membahagiakan mereka lupa.

Naskah ini sesungguhnya tidak memiliki jalan cerita yang memiliki klimaks. Berbeda dari naskah drama lainnya, naskah drama Waiting for Godot hanya berisi pengulangan yang menegaskan kebimbangan. Dalam naskah ini, tokoh Vladimir  merupakan tokoh yang digambarkan memiliki tanggung jawab.

ESTRAGON          : We came here yesterday.

VLADIMIR            : Ah no, there you're mistaken.(...)

VLADIMIR            : He said Saturday. (Pause.) I think.(...)

ESTRAGON          : (very insidious). But what Saturday? And is it Saturday? Is it not

  rather Sunday? (Pause.) Or Monday? (Pause.) Or Friday?(...)

VLADIMIR            : What'll we do?

ESTRAGON          : If he came yesterday and we weren't here you may be sure he won't

  come again today.

VLADIMIR            : But you say we were here yesterday.

ESTRAGON          : I may be mistaken. (Pause.) Let's stop talking for a minute, do you

  mind?

VLADIMIR            : (feebly). All right. (Estragon sits down on the mound. Vladimir

  paces agitatedly to and fro, halting from time to time to gaze into distance

  off. Estragon falls asleep. Vladimir halts finally before Estragon.) Gogo! . .

  . Gogo! . . . GOGO!

Estragon wakes with a start.

ESTRAGON          : (restored to the horror of his situation). I was asleep!

  (Despairingly.) Why will you never let me sleep?

VLADIMIR            : I felt lonely.

ESTRAGON          : I had a dream.

VLADIMIR            : Don't tell me!

                       

Dari dialog diatas dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kehilangan orientasi waktu, mereka tidak mengetahui apakah hari itu sabtu, minggu, atau bahkan kamis. Selain itu, dari dialog diatas dapat diketahui pula bahwa sosok Estragon adalah sosok yang selalu lari dari masalah. Ketika ia bertemu dengan masalah berat, yang ia lakukan adalah tidur. Ia cenderung tidak ingin berkonfrontasi dengan persoalan yang rumit.

Pada mulanya Vladimir dan Estragon mengira yang datang adalah Godot. Pertanyaan Estragon kepada Pozzo membuat Pozzo ingin mengetahui lebih jauh siapa Godot. Bagi Vladimir, cara menjawab yang paling bagus adalah mengatakan bahwa Godot adalah temannya. Akan tetapi bagi Estragon, menjawab demikian itu mungkin bisa berbahaya. Oleh karena itu, ia segera memotong bahwa Godot sama sekali bukan teman mereka. Lebih dari itu, mereka bahkan tak kenal sama sekali dengan tokoh itu.

           

 POZZO                   : Who! You know how to think, you two?

VLADIMIR            : He thinks?

POZZO                   : Certainly. Aloud. He even used to think very prettily once, I could

  listen to him for hours. Now . . . (he shudders). So much the worse for me.

  Well, would you like him to think something for us?

ESTRAGON          : I'd rather he dance, it'd be more fun.

POZZO                   : Not necessarily.

ESTRAGON          : Wouldn't it, Didi, be more fun?

VLADIMIR            : I'd like well to hear him think.

ESTRAGON          : Perhaps he could dance first and think afterwards, if it isn't too

  much to ask him.

VLADIMIR            : (to Pozzo). Would that be possible?

POZZO                   : By all means, nothing simpler. It's the natural order.

  (He laughs briefly)

VLADIMIR            : Then let him dance.

  Silence.

POZZO                   : Do you hear, hog?

ESTRAGON          : He never refuses?

POZZO                   : He refused once. (Silence.) Dance, misery!

  Lucky puts down bag and basket, advances towards front, turns to Pozzo. Lucky

  dances. He stops.

Ada dua hal penting yang tercermin dalam dialog diatas. Pertama, Vladimir mengatakan bahwa ia lebih suka Lucky mempertunjukkan bagaimana ia berfikir. Akan tetapi, Estragon membuat kompromi. Lucky diminta menari dahulu baru berfikir. Ini artinya orang bisa menari tanpa berfikir, yang menegaskan bahwa eksistensi, yang ditunjukkan dengan menari, hadir lebih dulu sebelum berfikir. Selanjutnya, Pozzo mempertunjukkan dirinya sebagai tuan. Kata hog dalam dialog diatas artinya babi jantan yang sudah dikebiri. Adapun yang dimaksudkan disitu adalah Lucky. Kata misery juga digunakan untuk menyebut Lucky. Dalam bahasa Inggris, jika seseorang disebut misery artinya, orang itu suka mengeluh atau dengan kata lain, orang yang tidak pernah bersyukur.

          

  LUCKY                  : Given the existence (...)

of a personal God (...) outside time (...) loves us dearly (...) suffers like the divine (...) with those who (...)

  are plunged in torment (...)

  established beyond all doubt (...)

  that man (...) for reasons unknown (...) for reasons unknown 

  labors abandoned left unfinished (...) unfinished . . .

 

Kutipan diatas merupakan monolog yang diucapkan oleh Lucky. Pada dasarnya monolog tersebut membicarakan tentang manusia dan Tuhan. Kata given yang mengawali monolog ini dapat ditafsirkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi mengakui. Manusia cenderung membuat asumsi tentang Tuhan dan membuat semacam hipotesis tentang keberadaan-Nya yang seakan begitu pasti, tetapi, pada pihak lain, manusia tidak pernah mampu membuat kesimpulan logis tentang Tuhan. Setiap kali manusia membicarakan tentang Tuhan, ia selalu mengakhirinya seperti yang diucapkan Lucky yakni, for reasons unknown.

 Tidak dapat disangkal, monolog ini adalah sebuah parody. Lucky berbicara tentang Tuhan, tetapi pembicaraannya melebar kemana mana. Ia berbicara seakan tidak akan berhenti. Jika ditinjau ulang, susunan kalimat serta pemilihan katanya, apa yang dibicarakan oleh Lucky dalam monolog ini tidak akan pernah mencapai suatu kesimpulan. Monolog ini dimulai dengan suatu pernyataan yang berbau teologis, yakni given the existence. Namun setelah beberapa kata, muncul kata quaquaquaqua. Qua dalam bahasa latin berarti sebagai. Dalam monolognya, Lucky mengulang kata qua ini sampai lebih dari tiga kali. Pengulangan kata qua dalam monolog ini member kesan seperti bunyi seekor bebek/angsa. Karena munculnya dibelakang kata God, penggunaan kata qua tersebut mungkin dipakai untuk mengejek.

Dalam bahasa Inggris Lucky artinya beruntung, tetapi kenyataannya, ia diperbudak. Antara nama dan nasibnya tidak mengisyaratkan kesesuaian, bahkan bertentangan. Nama, yang mewujud dalam kata, dan nasib yang mewujud dalam perlakuan terhadapnya mengisyaratkan ketidakcocokan.

           

Akhir Kata

Nothing to be done merupakan gambaran ekspresi seseorang yang sedang putus asa. Dalam konteks yang diucapkan oleh Vladimir, nothing to be done berkaitan erat dengan usaha memahami pencuri yang diselamatkan. Dalam hal ini Nampak suatu keseimbangan: ada yang diselamatkan dan ada yang dikutuk. Berbeda dengan Vladimir, tokoh Lucky menunjukkan kepiawaiannya dalam ber"puisi" who from the heights of divine apathia divine athambia divine aphasia loves us dearly with some exceptions for reasons unknown but time will tell...Tuhan itu mencintai kita dengan penuh kasih sayang dari tempatnya yang tinggi tanpa perasaan takut, tanpa penjelasan logis dan tanpa emosi, tetapi dengan perkecualian yang alasannya juga tidak diketahui, baru beberapa waktu kemudian diketahui mengapa terjadi hal yang demikian itu. Tuhan itu mencintai kita dengan penuh kasih sayang, yang artinya ada pencuri yang diselamatkan; tetapi ada juga perkecualiannya, yang artinya ada yang dikutuk tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu, menghadapi misteri ini, timbullah ketidakjelasan akan kepastian yang kemudian ditegaskan dengan tidak segera datangnya Godot.

Jika dilihat secara sepintas, waiting for Godot hanyalah drama yang tidak berkonsep. Ia membicarakan begitu banyak hal, mulai dari hal remeh hingga hal hal yang berbau teologis. Namun, jika kita mau melihat lebih jauh lagi, sesungguhnya drama ini sangat rumit. Kerumitan yang dimaksud disini adalah karena drama ini merupakan drama yang bergenre absurd. Apa yang disampaikan baik lewat dialog maupun perilaku tokohnya nampak aneh dan tak jelas. Tetapi, justru ketidakjelasan itulah yang menjadi kunci keberhasilan Beckett. Ia berhasil meramu sebuah pementasan yang fenomenal, karena ketidakjelasan itu merupakan gambaran dari manusia masa kini. Manusia yang seharusnya menjadi subjek kehidupan telah terdistorsi oleh banyak factor, dan ia telah menjadi makluk makluk yang tidak mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu dalam Waiting for Godot, nampak jelas para tokohnya mengalami disorientasi waktu dan tempat. Dari semua dialog yang diucapkan oleh para tokoh nampak jelas bahwa tidak ada satu pembicaraanpun yang selesai ataupun mencapai suatu kesimpulan yang berarti. Waiting for Godot adalah sebuah kesia siaan yang boros. Sebuah penantian yang tak kunjung usai. Gambaran tentang manusia yang impoten, tak bisa ereksi, tak bisa menentukan hidupnya dan hanya bergantung pada sang Godot itu sendiri. Drama ini sungguh mengisahkan tentang eksistensi manusia yang kerdil. Kekerdilan itu terejawantahkan dalam diri para tokoh. Demikianlah pada akhirnya Godot pun tak akan pernah muncul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun