Mohon tunggu...
Yoga Prasetya
Yoga Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Penjelajah

Menulis buku: Kepada Toean Dekker (2018), Antologi Kalimats Koma (2019), Retrospeksi Sumir (2020), Semesta Sang Guru (2021), Romansa Kusuma (2022), Astronomi Hati (2023), Kipas Angin (2024)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Malam Jumat di Gunung Merapi

19 November 2020   18:15 Diperbarui: 19 November 2020   19:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen olah pribadi

Keputusan Pak Mar untuk menyelamatkan jiwa Pak David sudah bulat. Ia dan leluhurnya akan melakukan perjalanan ke Gunung Merapi malam ini. Sementara itu, Pras ditemani Peri Ayu bertugas menjaga raga dan berdoa di rumah kontrakan Pak David.

"Pak Mar, malam ini malam Jumat. Apakah tidak bisa ditunda esok pagi?" Tanya Pras berharap sang kepala sekolah membatalkan niatnya.

"Sudah terlambat Pak Pras. Jika tidak malam ini, maka nyawa Pak David taruhannya," jawabannya dengan raut wajah agak syahdu.

Malam Jumat masih menjadi waktu paling menakutkan bagi sebagian orang. Bukan lagi sebuah mitos. Namun, faktanya malam Jumat adalah waktu terbukanya gerbang antar dimensi yang sangat kuat.

Sejak azan Maghrib hingga sebelum subuh tak heran bila banyak penampakan muncul. Apalagi di tempat seperti Gunung Merapi. Bisa dibilang di sanalah letak kerajaan genderuwo bersemayam.

Pukul 17.00 WIB, mereka memanjatkan doa keselamatan. Pras yang merupakan alumnus pesantren membaca surat Al-Kahfi sebagai penangkal dari marabahaya. Sementara, Pak Mar lebih banyak mengucap zikir.

"Pak Pras, apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan tempat ini hingga matahari terbit," pesan Pak Mar.

"Bbbaik Pak. Mohon jaga diri dan selalu berlindung kepada Tuhan," balas Pras.

***

Secara metafisika, Pak Mar sedang melakukan Rogo Sukmo. Sebuah ilmu untuk melepas nyawa dari fisik seseorang. Tidak semua indigo bisa menguasai ilmu tersebut.

Kini, nyawanya sedang melakukan perjalanan menuju Gunung Merapi bersama leluhurnya, Sang Sakera. Tak butuh waktu lama karena mereka berada di dimensi yang berbeda. Dalam dimensi dunia manusia, mungkin bisa memakan waktu sekitar 8 jam.

Seperti angin, mereka melewati awan gelap secepat kilat. Sebelumnya, Pak Mar hanya masuk melalui gerbang gaib di ruang kepala sekolah. Ini merupakan pengalaman pertama baginya.

"Kita sudah sampai," ucap Sakera.

Pak Mar tak menjawab dan hanya melihat keadaan gelap di Gunung Merapi. Banyak pohon berjejeran. Ia belum melihat sosok genderuwo tetapi napasnya serasa sesak. Seakan berada di antara ribuan orang.

"Kita dikepung," kata leluhur Pak Mar singkat.

"Hahaha. Selamat datang di kerajaan kami," ada suara tanpa wajah menggema di balik pohon-pohon berusia ratusan tahun.

"Tunjukkan dirimu!" Teriak Pak Mar.

Satu persatu genderuwo muncul di balik dahan. Mulai dari yang kecil, sedang, besar, hingga yang bermahkota warna ungu. Mata mereka menyala dan mendekat pada Pak Mar.

Sakera sudah mengayunkan aritnya. Tanda siap berperang. Sementara itu, Pak Mar mengeluarkan keris pusaka untuk pertama kalinya. Mereka memasang kuda-kuda menyerang.

Para genderuwo memasang kuku tajamnya. Tidak ada lagi istilah mundur. Yang ada hanya hidup atau mati.

"Seranggggg!!! Suruh genderuwo bermahkota ungu.

Sekilas memang terlihat tak imbang. Namun, Sakera termasuk qorin tingkat tinggi. Ia adalah pejuang kemerdekaan di tanah Madura.

Ia pernah melawan ribuan kompeni bersenjata mesin. Hanya dengan sebilah arit. Sungguh sakti mandraguna.

Namun, Sakera kalah strategi. Ia bisa saja menang jika bukan di tempat seperti ini. Gunung Merapi adalah kampung halaman para genderuwo.

Sakera kewalahan dan menyuruh Pak Mar lari ke sungai.

"Cepat pergi!" ucap Sakera pada Pak Mar.

Namun, Pak Mar enggan mematuhi leluhurnya. Ia tak peduli lagi dengan hidup. Meski tangannya sudah letih menahan gempuran genderuwo, ia tak mau mundur.

"Tamatlah riwayat kalian. Hahaha!"

Penulis: Yoga Prasetya

"Tulisan ini merupakan episode keempat novel KGSG dan artikel ke-13 Yoga Prasetya tentang fiksi horor di Kompasiana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun