Ucok tertawa kecil. "Menerima bukan berarti menyerah, kawan. Menerima berarti memahami bahwa tidak semua hal bisa kau kendalikan, dan yang bisa kau kendalikan adalah bagaimana kau meresponsnya. Kau tidak usah menyusahkan hal yang sebenarnya di luar kendalimu. Kalau kau fokus pada hal yang bisa kau ubah, kau bakal lebih tenang dan lebih bahagia."
Namun, meskipun Wira mendengar kata-kata itu, ia tetap merasa kosong. Malam-malam berikutnya sehabis pulang kantor, ia terus datang ke warkop Orang Tua, mencari jawaban yang belum ia temukan dan ingin mempelajari lebih banyak tentang stoic. Kadang ia merasa lebih baik, terkadang juga ia kembali tenggelam dalam frustrasi. Hatinya berteriak ingin menemukan kepastian, ingin merasakan bahwa hidup ini bukan hanya sekadar bertahan.
Sejak saat itu, Wira selalu menyempatkan untuk mampir ke kedai kopi Ucok sepulang dari kantor. Wira sangat antusias mendengar cerita-cerita ucok. Bagaimana Ucok melewati segala kesusahannya. Bagaimana dulu Ucok merantau ke Bandung dan harus bertahan berjuang sendiri. Dan banyak cerita lainnya.
Pada suatu hari, Wira tak sengaja membuat kesalahan dalam mengaudit anggaran. Karena kesalahannya itu, gaji Wira dipotong sebebagai hukumannya. Tetapi hal itu tidak dipusingkan oleh Wira. Dia tahu, jika dia memusingkan hal itu, sama seperti sebelum mengenal stoic, dia hanya akan menyiksa dirinya sendiri. Keadaan tak akan bisa diubah kembali.
Lalu, pada suatu malam, seorang wanita dengan ekspresi lelah masuk ke warkop. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja menjalani hari yang panjang dan berat. Wira memperhatikan dari sudut matanya saat wanita itu memesan kopi dan duduk di meja yang tak jauh darinya.
Ucok menghampiri wanita itu dengan senyum khasnya. "Halo, kusut amat muka. Kek sehabis membangun seribu candi saja kamu. Nih, kerak kopi Sidikalang. Cobain dulu."
Wanita itu tersenyum tipis dan menyeruput kopi yang diberikan Ucok. Tak lama kemudian, Ucok memperkenalkan Wira kepadanya. "Ini Wira, pelanggan tetap di sini. Dia dulu juga punya wajah kusut kayak kamu. Tapi sekarang, dia udah paham cara menghadapi kesusahan hidup."
Wanita itu menoleh ke Wira dan tersenyum kecil. "Serius? Kau juga pernah merasa seperti aku sekarang?"
Wira tertawa pelan, meski ada kepahitan di dalamnya. "Lebih dari yang bisa kau bayangkan. Tapi Ucok ngajarin aku sesuatu yang mengubah hidupku. Stoic."
Malam itu, percakapan mereka mengalir begitu saja. Wanita itu, yang ternyata bernama Yola, yang bekerja sebagai guru di salah satu sekolah dasar terbaik di Bandung. Yola juga sering menghadapi kenakalan anak SD yang sangat memusingkan, mungkin kurang lebih permasalahannya sama seperti Wira. Tapi yang membedakan, ia sudah lebih dulu memahami stoic---justru dengan cara yang lebih mendalam. Ia tidak hanya membaca teori, ia telah mengalaminya.
"Aku dulu juga merasa dunia ini tidak adil, Wira," kata Yola. "Aku ingin segalanya berjalan sesuai keinginanku. Aku ingin anak-anak yang aku ajar duduk tenang saat belajar, mudah mengerti apa yang aku ajarkan, aku ingin dunia mengerti aku. Tapi pada akhirnya, aku sadar satu hal: semakin aku berharap dunia berubah untukku, semakin aku kecewa."