Ketika Langit Menjadi Abu
Pada hari itu, langit seakan menahan tangis, dan waktu berjalan terpincang-pincang. Dunia tidak gemetar karena gempa, tapi karena sebuah cinta menggantung di antara dua pencuri, membisu, memikul luka yang bukan miliknya.
Jumat Agung adalah taman sunyi, tempat benih cinta dikubur dalam tanah perih. Ia tak berbicara dalam kata, tapi dalam retak: retak daging, retak harapan, retak langit. Namun justru di situ, keabadian diam-diam mulai bertunas.
Salib bukan tiang gantungan, tapi jembatan kayu---dibangun dari tubuh yang remuk dan napas yang nyaris habis. Jalan pulang bagi jiwa-jiwa yang tersesat, bukan dengan tanda terang, tapi dengan jejak darah.
Pada Jumat Agung, kasih tidak berseru... ia menyerah. Tapi bukan karena kalah---melainkan karena tahu, hanya yang bersedia hancur yang bisa menyelamatkan.
Ini bukan kisah kematian. Ini kisah tentang tangan yang tetap terbuka, meski dipaku. Tentang mata yang tetap memandang kasih, meski diludahi. Tentang keheningan yang menjerit lebih keras daripada suara manusia.
Dan di tengah abu itu, tersimpan janji: bahwa dari kegelapan terdalam, akan lahir fajar yang tak pernah padam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI