Pertemuan Tanpa Kepastian
Kafe itu tidak terlalu ramai, hanya ada suara sendok beradu dengan cangkir dan percakapan pelan yang terdengar samar. Cahaya temaram membuat suasana terasa lebih intim, lebih berbahaya.
Anya duduk di depan Raka, jari-jarinya saling bertaut di atas meja. Ia tidak menyentuh kopinya. Sejak awal, ia sudah tahu ini bukan pertemuan biasa.
Raka menatapnya, lama, seakan ingin menghafal setiap detail wajahnya. Lalu, dengan suara rendah yang hampir seperti bisikan, ia berkata, "Aku ingin kamu."
Jantung Anya berdegup kencang. Ia sudah menduganya, tapi mendengar langsung dari mulut Raka membuat semuanya terasa lebih nyata---lebih salah.
"Raka..." Anya menelan ludah, berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Kita nggak bisa begini."
"Kenapa tidak?" Raka menyandarkan punggungnya ke kursi. "Karena kamu sudah menikah? Karena kita beda agama? Karena aku bukan siapa-siapa buat kamu?"
Anya mengalihkan pandangannya, merasa dadanya sesak. "Karena ini tidak benar."
Raka tertawa kecil, tapi ada kepedihan di sana. "Benar dan salah itu hanya aturan yang dibuat manusia, Anya. Perasaan nggak bisa diatur."
Anya ingin marah, ingin membentaknya agar sadar. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Raka yang menahannya---sesuatu yang rapuh, yang terluka.
"Aku nggak pernah minta ini terjadi," suara Raka lebih pelan, lebih lelah. "Aku cuma... nggak bisa berhenti."