“Rasti…” Panggilanku menghentikan langkahnya. Dia hanya mematung tanpa menoleh.
“Rasti… duduklah sekali-sekali di sini. Setidak-tidaknya kita jangan seperti dua orang asing yang tinggal satu rumah.” Rasti masih berdiri dan belum juga menoleh.
“Rasti…” Kali ini dia bereaksi, dia menoleh walau tidak langsung menghampiriku. Dia tetap mematung di tempatnya berdiri. Aku menganggukkan kepala mencoba meyakinkannya untuk mendekat.
Rasti memilih duduk di kursi yang berada di sisi kiriku. Gayanya yang canggung dan ragu-ragu membuatku merasa kasihan.
“Rasti… sudah berapa bulan usia kehamilanmu?” tanyaku mencoba memecah kekakuan di antara kami.
“Sembilan bulan, Mas.”
“Jadi...?” jawaban yang diucapkan secara perlahan itu, sempurna membuat tenggorokanku tercekat. Sejenak aku terpaku, berusaha menormalkan kembali seluruh fungsi tubuhku yang tiba-tiba saja bekerja tanpa aturan. Sementara Rasti masih saja duduk dengan kepala tertunduk.
Sembilan bulan. Usia kehamilannya sudah mendekati masa kelahiran. Tiba-tiba saja aku diliputi kengerian. Bagaimana dia akan menghadapi proses kelahirannya nanti? Aku tiba-tiba tersadar, belum satu pun persiapan untuk menyambut kelahiran bayi itu yang kami lakukan. Aku dan Rasti betul-betul hanya menjadi dua sosok yang hidup dalam satu atap. Tanpa rasa. Aku mulai merutuki keegoisanku. Betapa selama ini Rasti sudah berusaha menjadi teman serumah yang baik. Dia yang selalu menyiapkan secangkir kopi di pagi hari untukku. Dia pula yang telah mengurus segala keperluan pribadiku; menyiapkan sarapan, mencuci dan menyetrika pakaianku, dan urusan tetek-bengek lainnya yang memang bisanya dilakukan oleh seorang istri.
“Mas, maaf… saya mau ke kamar dulu.” Melihat aku yang hanya duduk diam membuat Rasti tidak nyaman berlama-lama duduk satu meja denganku.
“Tunggu…Saya ingin mengajak kamu membeli keperluan bayi yang sudah hampir lahir itu.” Ide itu muncul begitu saja.
“Tapi…. Bayi ini…bukan….”