Yang pertama, tirulah sikap Stefanus yang beedoa menyerahkan rohnya pada Tuhan Yesus ketika ia dibunuh. Doa penyerahan, adalah pemberiaan diri seutuhnya, komitmen tinggi menjadi pengikut sejati, kepada Yesus.
Yang kedua, mendoakan mereka yang memusuhi kalian. Inilah ciri khas iman orang kristen sejati, karena meniru dan mengikuti teladan Sang Guru, dia harus berani mengampuni musuh dan mereka yang bersikap jahat terhadap kita, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Inilah kualitas pengikut Kristus yang benar. Karena itu para pejuang muda, berdoa dan berjuang, demi kebenaran, keadilan, kebaikan, keutuhan ciptaan, dan keutuhan persatuan Gereja baik di tanah Papua ini maupun Gereja univerasal. Hanya berani mengatakan kebenaran, berani menunjukkan sikap bahwa kebenaran adalah tetap kebenaran menjadi prinsip hidup kita sebagai pengikut Kristus yang sejati.Â
Marilah kita berdoa, supaya kita juga dalam hidup kita masing-masing, kita sungguh-sungguh memperjuangkan kebenaran, memperjuangkan keadilan, hak asasi, martabat alam, martabat manusia. Bukan kita partisipasi dalam kejahatan, rekayasa, iblis dunia ini, sebagaimana dikatakan oleh penulis Injil Yohanes, Dunia punya karakter lain, dunia tidak mengenal Yesus, Sang Guru Sejati, tapi kitalah yang mengenal Dia. Kitalah yang dipilih oleh Tuhan, kitalah yang berani mengikuti, mengatakan ya atau tidak, karena kitalah yang mengenal Yesus dan Dia mengenal kita, dan kita adalah satu di dalam Dia, Dia di dalam kita, Amin."
Kristianisme Radikal: Kembali ke Yesus dari Nazaret
Melihat, membaca, dan merenungkan kembali kotbah-kotbah Uskup Bernard sejak terpilih, ditahbiskan, hingga hari ini kami menilai bahwa ia sedang menawarkan pemahaman kristianisme radikal. Konsep kristianisme radikal ini penting di tengah situasi iman umat yang goyah. Ia mau mengajak orang atau umat untuk lebih bersungguh-sungguh mengimani Tuhan, dalam hal ini Yesus Kristus di jalan kemartiran salib. Iman yang radikal.Â
Menjadi Kristen radikal, bukan sekedar data yuridis-formil yang menunjukkan keimanan dan kemuridan. Melainkan fakta identitas asali, identitas eksistensial dan esensial. Kata radikal sudah banyak disalahpahami banyak orang, terutama kaum progresif irasional atau konservatif irasional juga. Radikal selalu orang identikan dengan terorisme, fundamentalisme, konflik, perang, kekerasan, dan lainnya.
Ada wacana seputar Islam radikal, atau radikalisme agama. Kutuk peyoratif yang secara semantik dialamatkan kepada diksi dan resonansi 'radikal' sejatinya adalah sebuah bentuk contradictio in terminis. Padahal radikal itu sendiri secara leksikal berarti 'akar', esensi, dan subtansi dari suatu objek atau hal. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan darah, senjata, pedang, perang, dan sejenisnya.
Ketika kita berbicara soal radikal, berarti kita berbicara soal akar, dasar, dan atau esensi dari sebuah hal. Sehingga kalau berbicara soal kristianisme radikal artinya adalah menjadi kristus lain, kristus dalam wajah pribadi yang bersangkutan.
Dalam wacana teologi pembebasan, kalau kita bertolak ke Amerika Latin, Spanyol tepatnya, ada nama Juan Jos Tamayo. Tamayo adalah salah satu teolog pembebasan terkemuka Amerika Latin berkebangsaan berdarah Spanyol. Ia baru saja menulis sebuah teologi luar biasa yang berjudul 'Cristianismo Radical' (2025). Leonardo Boff berkesempatan memberikan kata pengantar yang gurih atas buku ini, ia menyarankan agar para pembaca teologi pembebasan, khususnya haluan Amerika Latin untuk membaca karya-karya Tamayo.
Ketika menulis soal kristianisme radikal, Tamayo hanya mau mengajak para pembaca untuk kembali ke kiblat iman kristen, yaitu Yesus dari Nazaret. Yesus adalah sumber, inti, dan pusat iman kristen. Kristen sendiri sudah secara leksikal mengandaikan identitas ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, yaitu Yesus Kristus dari Nazareth. Yesus adalah 'arke', asas dari iman kristiani, sehingga jika mau menjadi kristen radikal, jalannya ialah menjadi imitasi kristus (imitatio christi), kristus yang lain (alter christi), imago dei (citra Allah).Â
Hal-hal ini yang sejauh ini kami lihat begitu gencar Uskup Bernard utarakan. Rupanya beliau mau agar supaya umatnya mengimani Yesus secara radikal, berani menderita, sengsara, dan wafat di salib bersama Yesus di jalan salib Papua menuju kebangkitan Papua Baru, Papua tanah damai, Papua penuh kemuliaan dan pujian penyembahan. Ini adalah sebuah upaya intelektual yang bisa kita jumpai juga jejaknya dalam buku almarhum Paus Benediktus XVI, yang saat itu bernama Kardinal Jozeph Ratzinger. Ia juga menulis tiga volume buku dengan judul umum, 'Jesu of Nazareth: The Infancy Narratives' (2012), 'Jesu of Nazareth: Holy Week: From the Entrance Into Jerusalem to the Resurrection' (2023), 'Jesu of Nazareth' (2007). Ratzinger, Tamayo, dan Uskup Bernard dengan demikian hemat kami sama-sama mau mengkonstruksi kembali identitas kemuridan umat kristen sebagai pengikut Yesus, bukan Yesus dari daerah ini atau itu, bukan Yesus dari suku ini atau itu, bukan Yesus dari ras ini atau itu, bukan Yesus dari budaya ini atau itu, melainkan Yesus dari Nazaret, Yesus sebagaimana yang tertulis dari Kitab Suci, Tradisi Gereja, Magisterium, dan Kesaksian Para Kudus.Â