Psikopat berbeda dengan Kepribadian Sadisme.
Penderita Sadisme mendapatkan kenikmatan ketika melihat korbannya menderita setelah dianiaya. Namun penderita sadisme ini akan mengalami rasa penyesalan setelah menyiksa korbannya, sehingga ia berusaha untuk menyenangkan hati korbannya dengan segala cara untuk menutupi rasa bersalahnya.Â
Walaupun merasa bersalah, ia akan mengulanginya lagi, bahkan tidak jarang korbannya bisa sampai meninggal. Ada semacam "permainan emosi" dengan korban disini.
Korban akan merasa tersakiti, lalu iba, memaafkan dan ritme penyiksaan akan berulang lagi. Ini akan menjadi semacam "lingkaran penyiksaan" yang jika korban terlena dan tidak melepaskan diri dari penyiksaan itu, ia bisa mati.
Pada Psikopat rasa bersalah ini tidak ada.
Jadi tidak usah diharapkan pada Psikopat akan muncul ekspresi penyesalan, merasa tertuduh apalagi histeris setelah melihat korbannya meninggal, karena memang dia tidak memiliki emosi itu.
Untuk kasus pembunuhan Enjelin yang di Bali misalnya, Ibu si Korban yang menangis dan menunjukkan penyesalan atas penyiksaannya kepada Enjelin selama bertahun-tahun tidak dapat dikategorikan sebagai Psikopat.
Menurut Professor David Wilson para pembunuh berantai yang bisa dikategorikan sebagai Psikopat pada awalnya memiliki fantasi yang salah mengenai tindakan kriminal tertentu, lalu sedikit demi sedikit dia lakukan dalam kehidupan nyata.
Mungkin bermula dari penyiksaan dan semakin lama fantasi mereka semakin brutal, dan berujung pada tindakan pembunuhan. Sangat berbahaya sekali.
Padahal pengendalian pikiran dan tindakan serta kepekaan akan hal-hal yang melanggar norma dan nilai-nilai kebenaran membuat kita bisa terus melatih langkah kita untuk mencapai arah dan identitas diri yang benar.Â
Karena baik pelaku sadisme atau psikopat bisa muncul dalam setelan jas mewah, tampilan yang keren bahkan wajah tidak berdosa, kita harus waspada jika rekan atau pasangan kita memiliki "tanda" atau gejala seperti yang disebut di atas.