Mohon tunggu...
Yohanes Yehezkiel Sihotang
Yohanes Yehezkiel Sihotang Mohon Tunggu... Siswa

Saya murid yang menulis artikel

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Krisis di Indonesia

19 September 2025   23:47 Diperbarui: 19 September 2025   23:46 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tiga peristiwa berbeda memperlihatkan wajah sama yang sama, yaitu negara yang kehilangan arah karena ketakutan, kelalaian, dan permainan kepentingan. Pertama, fenomena fobia ulat bulu yang seharusnya dipahami sebagai siklus alam justru ditanggapi berlebihan hingga memicu kepanikan massal. Kedua, sumpah anggota DPR yang mestinya jadi landasan etika berubah hanya menjadi teks mati, terbukti dari upaya mereka melemahkan putusan Mahkamah Konstitusi. Ketiga, polemik pagar laut ilegal di Banten menunjukkan betapa hukum bisa dipermainkan demi kepentingan bisnis besar. Meski berbeda konteks, ketiganya menunjukkan pola sama, yakni lemahnya ketegasan negara dan hilangnya keteladanan elite.

Kasus fobia ulat bulu memperlihatkan bagaimana masyarakat mudah panik terhadap sesuatu yang sebenarnya bagian dari siklus alam. Bukannya memahami, dunia pendidikan justru menanamkan ketakutan yang berlebihan. Fenomena kecil di alam dibesar-besarkan, sementara masalah besar seperti kerusakan lingkungan dan kemiskinan dianggap remeh. Inilah gambaran bagaimana bangsa ini sering salah menempatkan fokus.

Di tingkat politik, sumpah anggota DPR yang seharusnya menjadi pedoman justru berubah menjadi teks mati. Revisi undang-undang yang mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan betapa mudahnya janji dilupakan. Gerakan reformasi 1998 menuntut keadilan, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi. Namun dua dekade lebih berselang, tuntutan itu masih sama, menandakan krisis keteladanan belum selesai.

Kasus pagar laut ilegal di Banten menjadi bukti terbaru. Penanganan yang penuh simpang siur, tarik-menarik kepentingan elit, hingga aroma keterlibatan kelompok bisnis besar menegaskan lemahnya negara di hadapan modal. Bukan hanya hukum yang tercederai, tetapi juga kepercayaan publik. Ketika kepentingan orang yang lebih "kuat" lebih dominan daripada kepentingan rakyat, potensi gejolak sosial makin terbuka.

Polanya terlihat sangat jelas. Negara mudah digiring ke arah yang salah karena para petinggi di negara ini lebih sibuk menjaga posisi ketimbang menegakkan prinsip yang seharusnya dipegang secara teguh sejak awal. Dari presiden yang takut goyah dukungan koalisi, partai yang takut kehilangan kekuasaan, hingga pejabat yang tunduk pada pengusaha besar. Situasi ini melahirkan lingkaran ketakutan yang membuat bangsa sulit maju.

Yang hilang bukan hanya aturan, tetapi juga teladan. Tanpa pemimpin yang berani mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan, Indonesia akan terus terjebak dalam krisis kepercayaan. Dari ulat bulu, sumpah DPR, hingga pagar laut, benang merahnya sama: masalah besar negeri ini bukan sekadar teknis, melainkan moral.

Sumber:
1. "Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu" (F. Rahardi, Kompas.com)

2. "Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal" (Editorial Tempo)

3. "Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati" (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun