Mohon tunggu...
Yavis Nuruzzaman
Yavis Nuruzzaman Mohon Tunggu... Writer

Exploring the intricate tapestry of our world, one article at a time. Driven by curiosity and a desire to foster informed discussions. Join me in dissecting current affairs, sharing insights, and uncovering new perspectives.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Hemat dan Tenang dengan Gaya Hidup Minimalis Jakarta

6 Oktober 2025   09:57 Diperbarui: 6 Oktober 2025   09:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah ini memberikan ketenangan? Tidak secara langsung. Tapi ini memberikan kendali. Dan perasaan memegang kendali atas keuangan dan keinginan sendiri ternyata jauh lebih memuaskan daripada kepuasan sesaat dari paket yang baru datang.

Fase Ketiga: Detoks Digital dan Menemukan Sunyi

Minimalisme modern tidak hanya soal barang fisik. Aset kita yang paling terkuras di ibu kota adalah perhatian. Notifikasi, group chat yang tak pernah berhenti, dan timeline yang dirancang untuk membuat kita iri adalah bentuk kerumitan digital.

Eksperimen saya berlanjut ke ranah ini. Saya mematikan semua notifikasi kecuali dari aplikasi pesan instan dan telepon. Saya melakukan unfollow massal pada akun-akun yang hanya memicu rasa tidak cukup. Saya membatasi waktu bermain media sosial hanya 30 menit sehari.

Minggu pertama adalah neraka. Ada rasa cemas konstan bahwa saya ketinggalan sesuatu yang penting. Tangan saya secara refleks mencari ponsel, membuka aplikasi, lalu sadar saya sudah mencapai batas waktu. Ini adalah stres baru, stres yang lahir dari kebosanan.

Namun, setelah melewati fase "sakau" itu, sesuatu yang ajaib terjadi. Kebosanan itu memaksa saya untuk mencari stimulasi lain. Saya mulai membaca buku lagi yang sudah lama menumpuk. Saya lebih fokus saat mengobrol dengan teman, karena tidak ada getar notifikasi yang memecah perhatian. Saya menemukan kembali nikmatnya melamun saat terjebak macet, tanpa harus mengisi kekosongan itu dengan scroll tanpa tujuan.

Jadi, Benarkah Lebih Tenang?

Setelah tiga bulan, saya bisa menjawabnya dengan jujur. Hidup minimalis di Jakarta tidak serta-merta memberikan ketenangan seperti di puncak gunung. Mustahil. Kota ini akan selalu bising, cepat, dan menuntut.

Namun, minimalisme memberikan sesuatu yang lebih berharga: kejelasan.

Ia tidak menghilangkan stres, tapi ia mengubah sumber stres. Stres karena lemari berantakan dan cicilan kartu kredit, berubah menjadi stres karena harus disiplin menahan godaan. Stres yang pertama terasa pasif dan membebani, sementara stres yang kedua terasa aktif dan memberdayakan.

Ketenangan yang saya dapatkan bukanlah ketenangan eksternal, melainkan internal. Ketenangan karena tahu apa yang benar-benar penting bagi saya. Ketenangan karena sadar bahwa kebahagiaan tidak terletak pada barang berikutnya yang harus dibeli, atau postingan berikutnya yang harus disukai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun