Mohon tunggu...
Yavis Nuruzzaman
Yavis Nuruzzaman Mohon Tunggu... Writer

Exploring the intricate tapestry of our world, one article at a time. Driven by curiosity and a desire to foster informed discussions. Join me in dissecting current affairs, sharing insights, and uncovering new perspectives.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Hemat dan Tenang dengan Gaya Hidup Minimalis Jakarta

6 Oktober 2025   09:57 Diperbarui: 6 Oktober 2025   09:57 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup minimalis menjadi solusi untuk menemukan ketenangan hidup di Ibukota (Canva)

Jakarta tidak pernah tidur, dan jujur saja, belakangan ini saya juga. Bukan karena lembur, tapi karena "kebisingan". Bising notifikasi, bising iklan di timeline, bising ekspektasi untuk terus update, terus membeli, terus menjadi versi lebih baik dari diri sendiri yang dipajang di etalase digital. Lelah adalah kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkannya.

Di tengah kegelisahan itulah, saya menemukan konsep minimalisme. Awalnya, saya skeptis. Gambaran di kepala saya adalah apartemen serba putih yang kosong, dengan satu tanaman sukulen di sudut ruangan. Terlihat estetik, tapi mustahil diterapkan di tengah realita hidup yang serba-cepat dan---mari akui---agak berantakan.

Namun, rasa lelah mengalahkan skeptisisme. Saya memutuskan untuk melakukan sebuah eksperimen pribadi: menerapkan prinsip minimalis selama tiga bulan di jantung ibu kota. Pertanyaan utamanya bukan "Bisakah saya melakukannya?", melainkan "Benarkah ini akan membuat saya lebih tenang, atau hanya menambah satu lagi daftar 'kegagalan' dalam self-improvement?"

Fase Pertama: Deklarasi Perang Melawan Benda

Langkah pertama adalah yang paling klise: decluttering. Saya membuka lemari pakaian dan disambut oleh parade "baju-salah-ukuran", "baju-nanti-pasti-kurus", dan tentu saja, "baju-dengan-kenangan-yang-sulit-dilepaskan". Selama bertahun-tahun, saya menumpuk barang bukan karena butuh, tapi karena takut kehilangan kesempatan. Takut suatu saat akan membutuhkannya dan menyesal telah membuangnya.

Proses memilah barang ternyata lebih emosional dari yang saya duga. Setiap benda yang saya lepaskan terasa seperti mengakui sebuah kesalahan---kesalahan dalam membeli, kesalahan dalam menyimpan harapan palsu. Namun, setelah tiga kantong besar berhasil disingkirkan, ada perasaan yang aneh. Ruang di kamar saya terasa lebih lega, dan entah bagaimana, kepala saya juga ikut terasa lebih ringan. Ketenangan awal ini terasa seperti high, sebuah euforia singkat.

Fase Kedua: Ujian Sebenarnya di Medan Perang Konsumerisme

Ketenangan dari kamar yang rapi ternyata hanya bertahan sampai saya melangkahkan kaki keluar. Jakarta adalah medan perang bagi seorang minimalis pemula. Diskon 10.10, notifikasi flash sale dari e-commerce, ajakan teman untuk "sekadar lihat-lihat" di mal, hingga iklan di media sosial yang seolah bisa membaca pikiran saya. Semuanya berteriak: "Beli! Miliki! Kamu akan lebih bahagia jika punya ini!"

Di sinilah tantangan terbesar muncul. Minimalisme di kota besar bukanlah tentang memiliki sedikit barang, melainkan tentang membangun benteng pertahanan mental melawan godaan yang tak ada habisnya. Awalnya, saya stres. Menahan diri untuk tidak membuka aplikasi belanja online terasa seperti menahan napas. Rasa Fear of Missing Out (FOMO) pada diskon besar-besaran itu nyata.

Saya mengubah strategi. Bukan "tidak boleh belanja sama sekali", tapi "belanja dengan sadar". Saya membuat aturan 30 hari: jika saya menginginkan sesuatu yang tidak esensial, saya harus menunggunya selama 30 hari. Jika setelah sebulan keinginan itu masih ada, barulah saya boleh membelinya. Hasilnya? 90% dari keinginan impulsif itu lenyap dalam seminggu. Saya sadar, yang saya cari seringkali bukan barangnya, tapi dopamine hit singkat dari transaksi itu sendiri.

Apakah ini memberikan ketenangan? Tidak secara langsung. Tapi ini memberikan kendali. Dan perasaan memegang kendali atas keuangan dan keinginan sendiri ternyata jauh lebih memuaskan daripada kepuasan sesaat dari paket yang baru datang.

Fase Ketiga: Detoks Digital dan Menemukan Sunyi

Minimalisme modern tidak hanya soal barang fisik. Aset kita yang paling terkuras di ibu kota adalah perhatian. Notifikasi, group chat yang tak pernah berhenti, dan timeline yang dirancang untuk membuat kita iri adalah bentuk kerumitan digital.

Eksperimen saya berlanjut ke ranah ini. Saya mematikan semua notifikasi kecuali dari aplikasi pesan instan dan telepon. Saya melakukan unfollow massal pada akun-akun yang hanya memicu rasa tidak cukup. Saya membatasi waktu bermain media sosial hanya 30 menit sehari.

Minggu pertama adalah neraka. Ada rasa cemas konstan bahwa saya ketinggalan sesuatu yang penting. Tangan saya secara refleks mencari ponsel, membuka aplikasi, lalu sadar saya sudah mencapai batas waktu. Ini adalah stres baru, stres yang lahir dari kebosanan.

Namun, setelah melewati fase "sakau" itu, sesuatu yang ajaib terjadi. Kebosanan itu memaksa saya untuk mencari stimulasi lain. Saya mulai membaca buku lagi yang sudah lama menumpuk. Saya lebih fokus saat mengobrol dengan teman, karena tidak ada getar notifikasi yang memecah perhatian. Saya menemukan kembali nikmatnya melamun saat terjebak macet, tanpa harus mengisi kekosongan itu dengan scroll tanpa tujuan.

Jadi, Benarkah Lebih Tenang?

Setelah tiga bulan, saya bisa menjawabnya dengan jujur. Hidup minimalis di Jakarta tidak serta-merta memberikan ketenangan seperti di puncak gunung. Mustahil. Kota ini akan selalu bising, cepat, dan menuntut.

Namun, minimalisme memberikan sesuatu yang lebih berharga: kejelasan.

Ia tidak menghilangkan stres, tapi ia mengubah sumber stres. Stres karena lemari berantakan dan cicilan kartu kredit, berubah menjadi stres karena harus disiplin menahan godaan. Stres yang pertama terasa pasif dan membebani, sementara stres yang kedua terasa aktif dan memberdayakan.

Ketenangan yang saya dapatkan bukanlah ketenangan eksternal, melainkan internal. Ketenangan karena tahu apa yang benar-benar penting bagi saya. Ketenangan karena sadar bahwa kebahagiaan tidak terletak pada barang berikutnya yang harus dibeli, atau postingan berikutnya yang harus disukai.

Eksperimen ini mengajarkan saya bahwa minimalisme di tengah ibu kota bukanlah tentang memiliki lebih sedikit, tapi tentang membuat ruang untuk lebih banyak. Lebih banyak waktu, lebih banyak perhatian, lebih banyak energi untuk hal-hal yang benar-benar kita pedulikan. Dan di kota yang selalu berusaha merenggut ketiganya dari kita, itu adalah bentuk kemewahan yang paling sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun