Mohon tunggu...
Yavis Nuruzzaman
Yavis Nuruzzaman Mohon Tunggu... Writer

Exploring the intricate tapestry of our world, one article at a time. Driven by curiosity and a desire to foster informed discussions. Join me in dissecting current affairs, sharing insights, and uncovering new perspectives.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Nafas di Pulau Kalasirna

9 Juli 2025   13:07 Diperbarui: 9 Juli 2025   13:07 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau Kalasirna yang menyimpan keramat dan teror, lihat perjalanan mereka (Canva-AI)

Rani dan Andi memilih Pulau Kalasirna sebagai tujuan bulan madu mereka, mencari ketenangan setelah hiruk pikuk Bali. Namun, ketenangan yang mereka cari perlahan berubah menjadi teror ketika pulau itu menunjukkan sisi mistisnya. Mulai dari penampakan sisik perak di pantai , suara tangisan misterius di hutan , hingga pertemuan mendebarkan dengan Buaya Putih bermata kosong, setiap langkah mereka di pulau itu semakin menyeret mereka ke dalam dunia yang tak seharusnya diganggu. Mereka tidak hanya tersesat di hutan purba , tetapi juga harus menghadapi arwah penasaran yang bergentayangan di desa terbengkalai. Akankah mereka berhasil keluar dari jeratan misteri Pulau Kalasirna, atau justru takdir mereka akan teranyam selamanya dengan kekuatan purba di sana? 

BAB 1. Gerbang Keheningan

Aku masih bisa merasakan dingin malam itu, meski tubuhku sudah berpuluh kali terpanggang matahari tropis. Waktu aku dan Andi pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Kalasirna, suasana sepi menyergap lebih cepat daripada gelombang yang menyambut. Kami datang untuk honeymoon setelah Bali, pencarian ketenangan yang berakhir di antara bisikan mangrove dan pasir hitam-putih yang bersatu tanpa batas.

Dermaga kayu tua berderit pelan setiap kali Andi melangkah, seolah menolak kehadiran kami. Lampu kuning bergoyang halus, menciptakan siluet panjang di permukaan air payau. "Keren, ya?" gumam Andi, mencoba memecah keheningan. Aku cuma mengangguk, meraba gagang koper sambil menahan gerah yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Di kejauhan, puncak gunung berapi mengamati kami, siluetnya samar tapi menegaskan keberadaan dunia lain, dunia purba.

Vila kolonial yang menanti ternyata lebih sunyi daripada aku bayangkan. Dinding kayu lapuk, jendela besar dengan tirai lusuh, dan lorong sempit yang mengarahkan pandangan pada segala sudut, seperti pulau itu haus selfie perjalanan kami. Staf tua menyambut dengan senyum tipis, kerutan matanya menari mengikuti garis senyum itu. "Hormati airnya, Mbak. Ada yang mengawal," bisiknya sebelum menutup pintu berat tanpa sepatah kata lagi.

Kami dibawa ke kamar utama, sebuah ruang mungil tapi lapang. Lantainya kayu gerih kala diinjak, langit-langit tinggi menampung bayang-bayang. Andi menyalakan AC, menyalakan TV sebagai semacam kamar karaoke pribadi. Aku menatap jendela, memandangi pohon mangrove yang merambat di luar, akar-akarnya bergerak pelan, seperti menunggu kami tertidur.

Saat malam tiba, aku sengaja mempersiapkan segala sesuatunya. Segelas anggur merah, playlist akustik, dan aroma lily yang kubawa dari rumah. Pianika lembut mengalun, mencipta nada sendu. Andi duduk di tepi kasur, menatapku dengan senyum hangat. "Rani, ini memorable banget," katanya sambil menggenggam tanganku. Di detik itu, jantungku menari, bukan karena cinta kami semata, melainkan karena kehadiran sesuatu yang entah.

Setelah beberapa lagu berlalu, kami memutuskan turun ke pantai. Pasir di bawah kaki telanjang terasa kontras; hangat di satu sisi, hitam yang mengantarkan kelembutan, dan dingin di tepi putihnya, mengundang decak. Rembulan penuh tergantung rendah, menyinari lautan seperti lampu sorot alam.

Andi meraih pinggangku, memutar badan, lalu mengecupku pelan. "Lo siap untuk sesi kilas balik paling epic?" godanya. Aku tertawa menahan cemas, merapatkan tubuh. Ombak mendesah lembut, mengiringi bisikan saling rindu yang kami lepaskan. Saat kami larut dalam pelukan, tubuh kami menyatu, napasnya bercampur, jantungnya berpacu. Entah sudah menit ke berapa saat kita benar-benar kehilangan diri, hanyut di antara desir angin dan aroma tanah basah.

Puncaknya, aku merasakan getaran halus dari dalam pasir basah. Ada tentakel energi yang merambat, membangkitkan kesadaran yang tak kuduga. Aku menyibakkan tangan dari tubuh Andi dan merunduk, menatap air yang bergerak sendiri. Sekilas, aku melihat sisik besar berwarna perak, kilatan yang samar, cepat sekali menghilang dalam riak ombak. Aku menahan napas, merasakan bulu kuduk meremang. "Andi...," suaraku terputus. Dia mengerut dahi, menatapku tajam, lalu menoleh ke gelombang. Tapi pantai kembali hening, tak ada jejak apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun