Layar menjadi gelap.
Asri menunduk, bahunya berguncang pelan. Saya tahu ia sedang menelan air matanya. Saya merangkulnya.
Keheningan di kamar kini terasa seratus kali lebih berat.
Hantu digital anak kami baru saja berkunjung, dan kini ia pergi lagi meninggalkan jejak dingin di hati kami.
Untuk mengusir hantu itu, saya mulai bercerita. Saya menarik kisah dari laci ingatan paling dalam.
"Kamu ingat nggak, waktu kita pertama kali nonton bioskop? Filmnya Rhoma Irama. Kamu pakai baju kuning. Di tengah film, listriknya padam."
Asri mengangkat kepalanya, tersenyum kecil. Ia ingat. Tentu saja ia ingat.
Kami habiskan sisa waktu dengan bertukar cerita-cerita usang. Kisah dari dunia sebelum Fiko ada. Dunia di mana hanya ada kami berdua.
Cerita-cerita itu adalah obat.
Cara kami berkata pada diri sendiri bahwa hidup kami tidak dimulai dan diakhiri oleh satu anak laki-laki yang nun jauh di sana.
Kadang, jika tenaga masih tersisa, jika kesedihan belum membuat tubuh kami seberat timah, kami akan bercinta.
Bukan percakapan hormon anak muda, tapi percakapan kulit yang sudah mengenal lekuk dan keriputnya.
Saat saya menyentuh Asri, saya tidak hanya menyentuh istri saya.
Saya menyentuh seorang gadis tomboi yang dulu saya taksir, seorang ibu muda yang kelelahan, seorang wanita paruh baya yang kesepian.
Ini cara kami saling mengingatkan bahwa kami masih di sini nyata, solid, bisa disentuh.
Tindakan paling analog untuk melawan kekosongan digital.
Tepat pukul delapan, alarm berbunyi nyaring.
Mantra pun pecah.