Nada panggil berbunyi. Satu kali. Dua kali. Kami menahan napas.
Di dering ketiga, panggilan itu terhubung.
Keajaiban kecil.
Wajah Fiko memenuhi layar. Lebih kurus dari yang saya ingat. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Latar belakangnya dinding putih apartemen yang steril.
"Halo, Pa, Ma," sapanya. Senyumnya tampak dipaksakan.
"Assalamualaikum, Le," sapa Asri. Suaranya bergetar. Ia berusaha keras agar tidak menangis.
"Waalaikumsalam. Ada apa, Ma? Kok pagi-pagi telepon?"
Pagi bagi kami, malam baginya. Bahkan waktu pun berkonspirasi melawan kami.
"Nggak apa-apa," saya mengambil alih, mencoba terdengar ceria.
"Bapak cuma mau lihat jagoan Bapak. Sehat kamu?"
"Sehat, Pa. Cuma lagi sibuk banget. Besok ada presentasi penting."
Sibuk. Kata itu muncul lagi.
"Papa sama Mama baik-baik aja, kan?"
"Baik. Selalu baik," jawab saya.
Kami selalu baik.
Jawaban standar.
Kebohongan kecil yang kami ucapkan untuk melindunginya dari rasa bersalah yang kami tahu pasti dia rasakan.
Kami bicara lima menit.
Lima menit yang terasa seperti satu jam, sekaligus satu detik.
Kami bicara tentang cuaca, tentang kesehatan, tentang semua hal tidak penting karena yang paling penting...
Kapan kau pulang?
Apa kau bahagia?
Apa kau merindukan kami seperti kami merindukanmu?
...terlalu berat untuk diucapkan lewat sambungan internet yang putus-putus.
"Udah dulu ya, Pa, Ma. Aku harus siap-siap. Nanti aku kabari lagi," katanya, menutup percakapan seperti biasa.