Saya hanya mengangguk.
Foto.
Pesan singkat.
Stiker emoji.
Itulah anak kami sekarang: kumpulan data digital yang dikirim dari seberang samudra.
Sepuluh tahun lalu, kami melepasnya di bandara dengan dada membusung karena bangga. Beasiswa ke luar negeri adalah trofi, bukti bahwa kami berhasil sebagai orang tua.
Kami tak tahu bahwa trofi itu adalah piala kosong yang harus kami isi dengan kesunyian kami sendiri.
"Dia bilang sibuk," lanjut Asri, lebih kepada dirinya sendiri.
Sibuk.
Kata keramat itu.
Kata sakti yang bisa menjelaskan kenapa ia tak pernah pulang, kenapa ia tak bisa bertemu saat mengurus visa di negaranya sendiri, kenapa panggilannya selalu singkat.
Saya benci kata itu.
Ia telah menjadi tembok raksasa tak terlihat yang memisahkan kami darinya.
Saya tahu apa yang akan datang selanjutnya.
Bagian dari ritual, bagian yang paling saya takuti bukan untuk saya, tapi untuk Asri.
"Kita coba telepon, Pa?" pintanya.
Matanya memohon seperti anak kecil meminta permen.
Hati saya mencelos.
Setiap kali ia meminta ini, saya merasa seperti penjudi yang diminta memasang taruhan terakhir pada kuda pincang. Saya tahu, kemungkinan besar kami akan kalah: panggilan tak diangkat, ditolak, atau yang paling menyakitkan diangkat dengan suara terburu-buru.
Tapi saya tak pernah bisa menolak permintaan di matanya.
Harapan Asri adalah benda paling rapuh di rumah ini, dan tugas saya adalah menjaganya agar tidak pecah meski saya tahu, ia terbuat dari kaca paling tipis.
Saya mengambil ponsel, mengkhianati perjanjian kami untuk sesaat.
Saya menekan ikon kecil dengan foto Fiko di dalamnya foto wisuda lima tahun lalu, senyumnya tampak asing.