Mohon tunggu...
Yasmin Athirah
Yasmin Athirah Mohon Tunggu... Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Pecinta sastra yang gemar menulis, berpikir kritis, dan aktif dalam kegiatan literasi; berkomitmen mengembangkan diri melalui bahasa, budaya, dan kreativitas akademik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Tetaplah Sakit, Jangan Pernah Sembuh

2 Juli 2025   09:24 Diperbarui: 2 Juli 2025   09:24 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Dokpri, dibuat dengan AI)

Tetaplah Sakit, Jangan Pernah Sembuh

Di bawah langit yang tua,
ada luka di dada ibu yang tak kunjung sembuh.
Kita biarkan ia basah,
seperti sawah yang menanti hujan,
sebab luka adalah pengingat:
kita belum sepenuhnya mati.

Negeri ini,
kampung yang meriang,
menyembunyikan panas di balik tawa layar kaca.
Anak-anak sibuk selfie---
padahal perut mereka menghafal harga minyak goreng
dan ibu mereka pingsan di antrean LPG.

Sakit itu nyata,
seperti batang tebu digigit tikus,
seperti upah buruh yang larut bersama lumpur.
Tetapi, lihatlah,
berapa banyak yang pura-pura sembuh?
Berapa banyak yang berbaring di atas puisi kepalsuan,
mengirim senyum lewat televisi,
sedang di luar,
angin hanya membawa berita subsidi yang mengecil
dan pajak yang menanjak seperti demam yang dipeluk negara.

Dulu, kata orang pandai:
"Pilihlah yang terbaik,
agar bangsa ini tak terus berselimut duka."
Maka kita pilih.
Lalu kesedihan itu menjelma,
berubah rupa jadi kebijakan yang pahit,
seperti jamu diminum tanpa madu.

Mereka berkata,
"Ini demi kebaikan bersama."
Kebaikan siapa?
Rakyat yang menunggu tabung gas---
atau pejabat yang menunggu proyek tiba
seperti musim panen yang hanya datang di halaman istana?

Maka,
jangan lekas sembuh.
Jangan lekas memaafkan.
Jangan lekas melupakan.
Biarkan luka itu merambat ke akar rumput
dan perihnya menulis sajak di daun jendela.
Sebab yang cepat sembuh adalah mereka
yang hidup dari sisa pesta
dan tertawa di atas reruntuhan harapan.

Lihatlah,
setelah pemilu
yang menang selfie,
yang kalah sunyi,
dan yang tak memilih tetap dipanggil membayar utang negara.
Apakah ini demokrasi,
atau sekadar upacara gotong-royong
tempat premi dibayar bersama
tetapi manfaat hanya dinikmati segelintir nama?

Jika kau tak lagi sakit melihat rakyat menjerit
sementara pejabat berenang di protokol,
mungkin darahmu sudah tercampur
cat reklame nasionalisme.
Karena hari ini,
rasa sakit bukan aib---
tetapi penanda:
kita belum dijinakkan.

Biar kita tetap perih melihat sekolah ambruk,
biar kita tetap marah melihat tanah petani berubah jadi lapangan golf,
biar air mata ini jatuh
ketika bendera berkibar di tanah yang sudah jadi sertifikat keluarga istana.

Sebab jika semua itu tak lagi mengiris,
kita benar-benar telah menjadi debu.
Kekuasaan benci rakyat yang masih sakit:
sebab yang sakit akan bertanya,
yang bertanya akan mencari,
dan yang mencari akan menemukan bahwa negeri ini dikelola
bukan oleh negarawan
tetapi oleh para pedagang ayat dan makelar proyek.

Mereka akan bujuk kau dengan lagu,
dengan baliho,
dengan mie instan dan kaos partai.
Tolak semua itu.
Jangan pernah sembuh.

Tetaplah nyinyir,
tetaplah sinis,
tetaplah mencatat janji yang gugur sebelum pagi,
tetaplah membandingkan harga cabai
dengan uang saku staf ahli yang beraroma tunjangan.

Negeri ini terlalu banyak orang sembuh:
sembuh dari cita-cita,
sembuh dari harapan,
sembuh dari rasa malu.

Tapi engkau---
engkau yang membaca ini,
biarlah tetap sakit.
Biarlah luka itu jadi puisi.
Biarlah perih itu melahirkan perlawanan.
Biarlah nyeri di dompet itu menggerakkan nalar.

Sebab hanya mereka yang masih sakit,
masih pedih,
masih bisa menyembuhkan bangsa ini.
Mungkin suatu hari kita akan sembuh---
tapi bukan hari ini.

Hari ini,
tetaplah sakit.
Jangan pernah sembuh.

----

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun