Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rechtsvinding (Menemukan Hukum) Pajak

17 Agustus 2020   21:13 Diperbarui: 15 Januari 2021   21:55 8222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Palu Mahkamah Konstitusi (MK) | nobetciavukat.com

Pembuatan konstruksi dan intepretasi ini oleh Gustav Radbruch (1961) sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, dinamakan zu-ende-denken aines gedachten, yaitu suatu cara yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pembuat peraturan melalui karyanya itu. Mungkin hal itu adalah hal-hal yang memang terpikirkan oleh pembuat peraturan pada waktu itu, tetapi mungkin juga tidak. Dalam hal yang disebutkan belakangan ini dikatakan bahwa ia kurang menyadari jangkauan dari karyanya itu dan baru mengetahui melalui interpretasi yang jelas.

Contoh penafsiran otentik misalnya ketentuan dalam Pasal 35A ayat (2) Undang-Undang KUP yang intinya mengatur bahwa dalam hal data dan informasi perpajakan dari instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam ketentuan tersebut secara gramatikal (tertulis) sama sekali tidak mengatur mengenai intelijen pajak, tetapi ternyata ketentuan tersebut antara lain untuk mengatur intelijen pajak. Bagaimana cara mengetahuinya? Hal itu dapat diketahui dari dukumen atau pihak yang turut membahas dan atau merumuskan ketentuan tersebut (law maker). Kebetulan penulis termasuk salah satu anggota penyusun dan pembahas ketentuan tersebut.

2.  Penafsiran Sistematis

Penafsiran sistematis adalah penafsiran atas suatu peraturan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan peraturan-peraturan lain yang terkait, baik itu di antara pasal-pasal yang ada dalam 1 (satu) peraturan yang ada, maupun dalam konteks hukum umum dan konteks hukum khusus, antara hukum yang lebih tinggi dengan hukum yang lebih rendah, termasuk pula hubungan antara ketentuan yang sejajar (noscitur a sociis).

Karena itu dalam penafsiran sistematis ini asas-asas hukum (the principles of law) seperti lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum), lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah), lex posteriori derogat legi priori (hukum yang kemudian mengesampingkan hukum yang terdahulu) harus dipahami oleh semua pihak khususnya yang melaksnakan praktek hukum, agar dapat mengetahui hukum mana yang harus diberlakukan.

Hal yang sangat penting dalam memberikan makna tafsir  sistematis adalah prinsip contextualism sebagaimana dikemukakan Ian Mac Leod dalam bukunya Legal Method, yaitu pertama asas noscitur a sociis (suatu kata harus diartikan dalam rangkainnya), kedua asas ejusdem generis (suatu kata dibatasi makna dalam kelompoknya), dan ketiga asas expressio unius exlusio alterus (kalau satu konsep digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain).

Berdasarkan dan sejalan dengan konsep contextualism sebagaimana dikemukakan Ian Mac Leod, dengan jelas kita dapat mengatakan bahwa Surat Ketetapan Pajak dalam Undang-Undang PBB bukanlah makhluk yang sama dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang KUP. Karena Surat Ketetapan Pajak dan surat ketetapan pajak merupakan produk hukum yang berbeda, maka keberlakuan dan akibat atau konsekuensi hukumnya pun juga berbeda.

Contoh penafsiran sistematis, yaitu tentang pengurangan sanksi administrasi pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2013 yang mengatur bahwa pengurangan sanksi dapat diberikan menjadi kurang dari 24 bulan. Jika dibaca secara gramatikal maka harus melihat ketentuan sanksi administrasinya yang dapat dikenakan 24 bulan atau lebih itu ketentuan yang mana? Jika dibaca dengan menggunakan tafsir sistematis, maka yang dapat dikenai sanksi administrasi 24 bulan atau lebih hanya ketentuan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 19 Undang-Undang KUP.

3.  Penafsiran Historis

Penafsiran historis adalah cara menafsirkan peraturan yang dilakukan dengan melihat kronologis atau sejarah dibuatnya peraturan dikaitkan dengan perkembangan hukum secara umum atau yang masih ada hubungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun