Muklis menatap reruntuhan gedung mal itu dengan tatapan kosong, mati rasa dan seperti bermimpi. Seraya memastikan semoga istri dan anaknya belum masuk ke dalam, Muklis berlari di sekitaran reruntuhan gedung dengan harap cemas dan berlinang air mata .
Namun hasilnya nihil. Istri dan anaknya telah ikut dalam reruntuham gedung itu, yang pastinya sudah meninggal.
Muklis mengerang, berlutut ketanah, dan menjambakki rambutnya. Warga sekitar berusaha menenangkannya dan membujuknya untuk pulang dulu, sembari menunggu petugas datang untuk mengefakuasi mayat yang tertimbun reruntuhan Mal itu.
Dengan sisa-sisa jiwanya, dia pulang kerumah. Rumahnya kosong melompong. Tidak ada suara istrinya, apalagi suara anaknya yang selalu mengejarnya ketika dia baru pulang kerja.
Dia menangis, frustasi, dan mengutuk dirinya sendiri. Dengan semua yang terjadinya padanya, dia menyesal telah dilahirkan kedunia ini. Tanpa sadar dia tergeletak di lantai rumahnya yang masih terbuat dari tanah.
Tiba-tiba seseorang laki-laki masuk kedalam rumahnya. Laki-laki itu menyampari Muklis, memegang bahunya dan membisikkan sesuatu ketelinga Muklis. Laki-laki itu mengajak Muklis supaya jangan larut dalam kesedihan.
laki- laki itu memberitahu Muklis, bahwa Muklis dapat memperoleh semua yang telah hilang darinya. Istri, anak, bahkan harta dan kehidupan yang melimpah akan Muklis dapatkan asalkan mau mengikuti satu permintaan dari laki-laki itu.
Muklis mengangkat kepalanya dan melihat laki-laki itu. dalam penglihatan Muklis, laki-laki itu sangat gagah, bajunya terbuat dari kain sutra yang dilapisi berlian merah, sepatunya terbuat dari emas murni dan luar sepatunya menempel berlian hitam dan merah muda. Tepat diatas kepala laki-laki itu melayang benda yang melingkari kepalanya berwarna merah darah.
Muklis kemudian bertanya.
"Apalah yang dapat dilakukan orang menyedihkan seperti saya ini tuan? Bumi saja enggan menerima saya! Apa permintaan tuan yang harus ku ikuti?"
"Hanya satu saja Muklis, tidak lebih."