Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketaksaan Siswa PAUD Belajar Calistung dalam Impitan Kurikulum 2013

1 September 2021   14:06 Diperbarui: 3 September 2021   03:08 2774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: via pexels/kampus production

Bagaimana PAUD tidak mengajarkan calistung kepada peserta didiknya, kalau materi pelajaran di SD mengharuskan anak sudah mahir membaca dan menulis?

Sebelum diberlakukan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) seperti sekarang, Sekolah Dasar, yang dianggap unggulan, menerapkan seleksi calistung (membaca, menulis, dan berhitung) kepada anak-anak yang ingin masuk sekolah mereka.

Mau tidak mau, jenjang TK memberi pelajaran tambahan berupa menulis dan membaca kepada peserta didiknya.

Padahal, Kemendikbud sudah mengingatkan (melalui surat edaran Nomor 1839/C.C2/TU/2009) dan Permendikbud No. 58 Tahun 2009 (sudah kedaluwarsa dan diganti dengan Permendikbud No 137 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional PAUD) bahwa PAUD tidak diperkenankan memberi materi calistung secara langsung.

PAUD adalah Pendidikan Anak Usia Dini yang merupakan payung yang menaungi playgroup (Kelompok Bermain) dan Taman Kanak-kanak (TK). Jadi, TK adalah jalur pendidikan formal yang merupakan bagian dari PAUD.

Idealnya, di jenjang PAUD calistung hanya dikenalkan untuk mendukung pendidikan karakter dan pengembangan kognitif, bukan diajarkan secara langsung.

Lho, katanya harus memperkenalkan literasi sejak dini? Bagaimana anak bisa baca buku kalau dia tidak diajarkan membaca?

Sesuai panduan untuk PAUD dari Kemendikbud, buku untuk anak TK adalah yang bergambar dan membiarkan anak menceritakan isi buku memakai kalimat dan imajinasinya sendiri. Guru dan orang tua juga bisa membacakan isi buku kepada anak.

Contoh buku untuk siswa TK. Foto: Cacing Tanah Kecil yang Ingin Menjadi Kupu-kupu, karangan Hennie Triana Oberst
Contoh buku untuk siswa TK. Foto: Cacing Tanah Kecil yang Ingin Menjadi Kupu-kupu, karangan Hennie Triana Oberst

Kemampuan membaca dan menulis tertinggi yang dikuasai lulusan TK adalah membaca dan menulis namanya sendiri.

Akan tetapi, lulusan TK yang cuma bisa membaca dan menulis namanya sendiri bakal kesulitan mengikuti pelajaran di SD.

Sekolah-sekolah, terutama yang berakreditasi A dan berstatus standar nasional, ingin on time menuntaskan kurikulum sehingga mereka "tidak punya waktu" untuk mengajari peserta didik membaca dan menulis lagi.

Sekolah lalu meminta orang tua mengajarkan calistung pada anak yang belum lancar, supaya target kurikulum tercapai.

Apa pentingnya menuntaskan pembelajaran dalam kurikulum bagi sekolah?

Diluar kondisi pandemi, kurikulum yang tuntas berarti anak didik punya capaian akademis seperti yang ditargetkan. Hasilnya adalah nilai rata-rata Ujian Nasional (sekarang jadi Asesmen Nasional/AN) di sekolah tersebut bisa lebih tinggi dibanding sekolah yang target kurikulumnya tidak tercapai.

Lebih lagi, guru-guru yang sudah belasan tahun mengajar merasa kurang afdol memberi nilai dan mengisi rapor jika kurikulumnya tidak tuntas, mereka merasa punya "utang" harus menyelesaikan materi pembelajaran sesuai kurikulum.

Tuntutan membaca dan menulis di SD membuat orang tua terpaksa memilih TK yang mengajarkan calistung secara khusus daripada yang tidak, atau anak mereka kesulitan mengikuti pelajaran di SD.

Kurikulum 2013 (disingkat K13) yang saat ini dipakai oleh semua jenjang sekolah sejatinya ingin meredam hasrat TK dan orang tua agar tidak memaksakan anak belajar calistung, tetapi malah menjadi-jadi karena pelajaran di SD justru "memaksa" anak sudah lancar calistung.

K13 punya keunggulan, diantaranya memacu peserta didik untuk aktif, kreatif, dan inovatif dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi di sekolah.

Standar penilaian juga mengarah pada penilaian berbasis kompetensi seperti sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara proporsional.

Akan tetapi, materi yang harus dikuasai peserta didik juga jadi banyak. Beban belajar dan beban tugas guru juga makin besar.

Jadinya tidak heran kalau di buku Tema 1 kelas 1 saja sudah banyak pelajaran membaca dan menulis.

Bagaimana anak baru mulai intens belajar membaca dan menulis di SD jika di hari pertama saja, selepas Masa Orientasi Sekolah, mereka "dipaksa" sudah harus mahir membaca dan menulis?

Selain buku teks Tema, siswa kelas 1 juga dibekali Modul (dulu disebut LKS) sebagai bahan belajar sekaligus materi untuk Penilaian Harian.

Materi pembelajaran di SD ini membuat pelarangan anak TK belajar membaca dan menulis terasa sebagai ambiguitas (ketaksaan) di dunia persekolahan.

Jadi, anak TK tetap diajarkan calistung atau tidak?

Pertama, tergantung ke SD mana anak itu akan bersekolah.

Kedua, jika si anak memang berbakat membaca di usia awal, boleh diasah, asal tidak memaksa dan membebaninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun