Sekolah lalu meminta orang tua mengajarkan calistung pada anak yang belum lancar, supaya target kurikulum tercapai.
Apa pentingnya menuntaskan pembelajaran dalam kurikulum bagi sekolah?
Diluar kondisi pandemi, kurikulum yang tuntas berarti anak didik punya capaian akademis seperti yang ditargetkan. Hasilnya adalah nilai rata-rata Ujian Nasional (sekarang jadi Asesmen Nasional/AN) di sekolah tersebut bisa lebih tinggi dibanding sekolah yang target kurikulumnya tidak tercapai.
Lebih lagi, guru-guru yang sudah belasan tahun mengajar merasa kurang afdol memberi nilai dan mengisi rapor jika kurikulumnya tidak tuntas, mereka merasa punya "utang" harus menyelesaikan materi pembelajaran sesuai kurikulum.
Tuntutan membaca dan menulis di SD membuat orang tua terpaksa memilih TK yang mengajarkan calistung secara khusus daripada yang tidak, atau anak mereka kesulitan mengikuti pelajaran di SD.
Kurikulum 2013 (disingkat K13) yang saat ini dipakai oleh semua jenjang sekolah sejatinya ingin meredam hasrat TK dan orang tua agar tidak memaksakan anak belajar calistung, tetapi malah menjadi-jadi karena pelajaran di SD justru "memaksa" anak sudah lancar calistung.
K13 punya keunggulan, diantaranya memacu peserta didik untuk aktif, kreatif, dan inovatif dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi di sekolah.
Standar penilaian juga mengarah pada penilaian berbasis kompetensi seperti sikap, keterampilan, dan pengetahuan secara proporsional.
Akan tetapi, materi yang harus dikuasai peserta didik juga jadi banyak. Beban belajar dan beban tugas guru juga makin besar.
Jadinya tidak heran kalau di buku Tema 1 kelas 1 saja sudah banyak pelajaran membaca dan menulis.
Bagaimana anak baru mulai intens belajar membaca dan menulis di SD jika di hari pertama saja, selepas Masa Orientasi Sekolah, mereka "dipaksa" sudah harus mahir membaca dan menulis?