Untuk memahami kontribusi filsafat pendidikan terhadap kegelisahan dunia, berguna meninjau beberapa tradisi filosofis yang memengaruhi teori dan praktik pendidikan:
a. Humanisme pendidikan
Humanisme menempatkan manusia sebagai pusat pendidikan fokus pada pengembangan kecakapan intelektual dan karakter. Tokoh seperti Rousseau menekankan kebebasan dan perkembangan alami anak, sementara varian kontemporer menekan martabat manusia dan hak asasi. Dalam konstelasi global, humanisme menuntut pendidikan yang menumbuhkan empati dan rasa tanggung jawab antar-manusia antarbangsa, yang menjadi relevan saat menghadapi migrasi massal, ketimpangan, dan krisis iklim.
b. Pendidikan kritis (Freire)
Paulo Freire menyorot pendidikan sebagai tindakan kebebasan, bukan reproduksi pengetahuan pasif. Pendidikan harus membangunkan kesadaran kritis (conscientizao) yang memungkinkan peserta didik memahami struktur sosial dan berperan mengubahnya. Dalam konteks isu global, ketimpangan, struktur kekuasaan, dan ekologi pendidikan kritis menegaskan perlunya kurikulum yang membuka ruang refleksi tentang akar masalah, bukan sekadar keterampilan instrumental.
c. Pragmatisme (Dewey)
John Dewey melihat pendidikan sebagai pengalaman demokratis, belajar melalui pengalaman, proyek, dan problem solving. Untuk masalah dunia yang kompleks, pendekatan pragmatis menekankan pembelajaran berbasis masalah nyata dan kolaborasi, menyiapkan siswa sebagai warga yang mampu berpartisipasi dalam demokrasi dan mengatasi tantangan bersama.
d. Eksistensialisme
Filsafat eksistensial menekankan pencarian makna dan tanggung jawab individu. Dalam dunia yang cepat berubah, pendidikan eksistensial membantu individu menemukan arah, bukan sekadar mengikuti arus teknologi dan norma sosial. Ini penting untuk melawan krisis makna yang sering menyertai modernitas: ketika siswa merasa teralienasi dari tujuan hidup, fintech dan algoritma tidak dapat menggantikannya.
e. Perspektif lokal-nasional
Filsafat pendidikan juga harus menyertakan pemikiran lokal, misalnya prinsip pendidikan Ki Hadjar Dewantara ("Ing ngarso sung tulodo", "Ing madya mangun karso", "Tut wuri handayani") yang menekankan teladan, kolaborasi, dan dorongan dari belakang. Konteks lokal memberi nilai, identitas, dan ketahanan budaya dalam menghadapi homogenisasi global.