Yang paling menyebalkan dari beras oplosan bukan cuma soal harga. Tapi soal niat. Niat untuk menipu. Bulir-bulir beras itu memang tampak mulus, licin, bahkan berkilau seperti nasi hajatan.
Tapi siapa sangka, di dalam satu kantong beras yang dijual dengan label "premium," terselip gabah usang, beras patah, hingga yang sudah bau apek. Petani menyebutnya "beras banci" tidak jelas jantan atau betinanya: medium bukan, premium pun bukan.
Pedagang licik tahu betul bahwa label lebih menjual daripada isi. Maka, yang dicampur bukan hanya fisik beras, tapi juga moral dagang.
Di pasar tradisional, trik ini sudah bukan hal baru. Satu karung beras medium bisa berubah kasta jadi "premium" hanya dengan digosok pakai minyak sayur dan diayak lagi dua kali. Biayanya?
Tak sampai seribu rupiah per kilo. Tapi nilai jualnya bisa melompat tiga ribu. Konsumen awam, terutama ibu-ibu di kota, hanya melihat dari warna dan kilau. Di sinilah ruang untuk kebohongan tumbuh: ketika label jadi lebih penting dari mutu.
Lalu datanglah Zulhas. Seperti biasa, artikulasinya datar tapi tegas. Selain cepat, dan tidak banyak basa-basi. Di hadapan publik, ia bicara langsung, "Turunkan harga. Jangan berbohong." Ia marah.
Kata-katanya mengalir cepat seperti orang sedang mengejar maling. Ia bahkan menyamakan kategori beras dengan daging: ada beras biasa, ada yang "wagyu". Tapi yang utama: harus jujur.
Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, kini Menko Pangan, sudah banyak asam garam di pemerintahan. Tapi ia tampaknya mengerti satu hal dasar dari perdagangan modern: kepercayaan adalah aset utama pasar.
Seperti kata Paul Krugman dalam The Return of Depression Economics (2008, hlm. 46), "Pasar bisa runtuh bukan karena barang tak ada, tapi karena tak ada yang percaya lagi pada harga dan mutu."