Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Baranusa dan Cita Rasa Nasi Jagung

12 Juni 2025   21:29 Diperbarui: 12 Juni 2025   21:32 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Mama  Oryza-doc)

Ibu sudah membentang tikar di halaman depan. Bulan purnama yang resik menyulu seantero Baranusa. Langit bersih tanpa cela. Angin laut bergerak lambat, seolah malas mengusik malam yang sedang khusyuk.

Kami bermain peta umpet atau ereng-ereng di halaman rumah. Kadang, kalau sudah lelah, kami meringkuk di paha ayah sambil mendengar dongeng, tutu uli-uli.

Tapi sejatinya, kami hanya menemani ibu. Karena tiap bulan purnama, beliau pasti duduk berselonjor, menyingsingkan sarung, dan memulai satu ritual purba: titi jagung.

Di hadapannya, batu pipih yang sudah dipakai turun-temurun. Tangannya kuat meski sudah keriput. Satu tangan menggenggam batu pemukul, satu lagi menjaga butir-butir jagung agar tak menyebar liar. 

Suara batu menghantam biji terdengar khas-tok-tok-tok-berpadu dengan ketukan dari rumah tetangga. Satu suara timbal balik dari berbagai arah. Kadang serempak. Kadang menyela. Namun semua menyatu, seperti irama jazz malam kampung yang tak butuh komposer.

Tak ada yang menyuruh mereka melakukan ini. Tak ada kalender resmi yang menandai malam titi jagung. Tapi mereka tahu. Tubuh mereka tahu. Bahwa saat bulan bundar menggantung utuh di langit Baranusa, itulah saatnya.

Maka tangan-tangan ibu di Baranusa bekerja, bukan karena disuruh, tapi karena mengerti. Seperti bumi yang tahu kapan hujan harus turun.

Jagung yang sudah diluruh dan dijemur akan dititi hingga pecah. Lalu digiling di batu putar, seperti zaman Mesopotamia kuno.

Selesai digiling, ibu akan mengayaknya. Terbagi dua: tepung halus dan butir jagung kasar. Yang satu menjadi bubur dan kolak, yang lain disiapkan untuk menggantikan nasi.

Saya menyukai bagian yang kasar. Karena darinya muncul apa yang kami sebut "nasi jagung"-sejenis beras lokal yang lebih kokoh, lebih bersahabat dengan perut yang lapar dan cuaca yang terik.

Tapi di atas segalanya, yang paling saya rindukan adalah keraknya. Terutama jika dimasak di periuk tanah, dengan api kayu. Aroma gosongnya bukan seperti kegagalan, tapi kemenangan rasa.

Biasanya, kerak itu disiram air panas, lalu ditaburi kelapa parut. Kadang ibu menambahkan garam. Tidak ada daging. Tapi sungguh, itu terasa lebih cukup dari apapun.

Chef Dan Barber, seorang pelopor farm-to-table asal New York, pernah berkata, "Rasa terbaik muncul bukan dari kemewahan bahan, tapi dari batas dan keterbatasan yang memaksa kita berpikir kreatif." 

Dan apa yang lebih kreatif daripada kerak nasi jagung yang diciptakan ibu-ibu Baranusa? Dari ladang yang miskin pupuk dan tanah yang keras, mereka ciptakan kehangatan yang abadi di lidah dan ingatan.

Lauk kami pun tak kalah sederhana. Ikang blama-ikan kering yang direbus dengan kuah asam Jawa. Tanpa minyak, tanpa tumis. Bawang merah diremukkan dan dimasukkan saat air mulai bergolak.

Setelah itu, asam Jawa yang sudah diperas, lalu potongan ikan yang diasinkan dan dikeringkan. Selesai. Tapi justru kesederhanaan itulah yang membuat rasa menjadi bulat. Gurih, asin, asam. Menggigit, tapi tidak kasar.

Sesekali, ibu membuat bubur santan dari nasi jagung. Campur sedikit beras. Lauknya ikan tembang yang dibakar langsung di bara. Diaduk tanpa banyak bicara. Dimakan tanpa piring mahal.

Tapi rasa itu masih tinggal sampai hari ini. Menetap di dasar memori, seperti bara di bawah abu.

Saat saya sekolah di Kupang, setiap pulang kampung saya masih mendengar simfoni batu titi. Tapi waktu mulai berubah. Pemerintah mengirimkan beras raskin. Lalu rastra. Dan lambat-laun, beras menjadi simbol kemajuan.

Batu titi mulai ditinggalkan. Tidak karena tak dibutuhkan, tapi karena dianggap terlalu lambat. Mesin moleng menggantikan tangan-tangan ibu. Tapi rasa ikut pergi bersamanya.

Chef Alain Ducasse, juru masak Prancis yang dikenal paling filosofis, pernah berkata, "Seni memasak bukan tentang kecepatan, tapi tentang ketulusan." Maka saat batu diganti dengan mesin, bukan hanya jagung yang berubah. Ketulusan itu juga ikut menyusut.

Hari ini, tak ada lagi bunyi batu saat bulan purnama. Ibu-ibu kini menyimpan nyiru di atas lemari. Tak ada lagi dongeng dari ayah sambil menemani istri menumbuk.

Malam di Baranusa tetap tenang, tetap gelap. Tapi ia kehilangan nadanya. Tak ada lagi simponi--dari harmoni suara batu titi dan percikan laut yang indah.

Saya pernah mencoba mencari nasi jagung di kampung, Baranusa-NTT. Tak ketemu. Lalu saya cari di Jakarta, dan akhirnya menemukannya di marketplace. Mahal, ya, tentu. Tapi saya tetap beli.

Saya masak sendiri. Saya makan dengan ikan teri balado, resep dari istri saya yang orang Padang. Rasanya? Tidak persis sama. Tapi cukup untuk memanggil bayangan ibu saya, duduk berselonjor, dengan batu di pangkuan.

Seorang koki Italia, Massimo Bottura, pernah bilang, "Memasak adalah cara menyusun kembali kenangan." Maka dengan sepiring nasi jagung di hadapan, saya tak hanya makan, saya juga mengingat.

Saya menyusun kembali rumah kami yang beratap daun kelapa, suara anak-anak bermain, dan bulan purnama yang menggantung di atas Baranusa seperti lentera para dewa.

Di zaman ketika semua hal harus cepat, kadang yang paling kita butuhkan justru adalah suara lambat dari batu yang menumbuk jagung. Dan mungkin, dari dapur yang tak hanya menyajikan makanan, tapi juga keheningan dan cinta.*

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun