Hari ini, tak ada lagi bunyi batu saat bulan purnama. Ibu-ibu kini menyimpan nyiru di atas lemari. Tak ada lagi dongeng dari ayah sambil menemani istri menumbuk.
Malam di Baranusa tetap tenang, tetap gelap. Tapi ia kehilangan nadanya. Tak ada lagi simponi--dari harmoni suara batu titi dan percikan laut yang indah.
Saya pernah mencoba mencari nasi jagung di kampung, Baranusa-NTT. Tak ketemu. Lalu saya cari di Jakarta, dan akhirnya menemukannya di marketplace. Mahal, ya, tentu. Tapi saya tetap beli.
Saya masak sendiri. Saya makan dengan ikan teri balado, resep dari istri saya yang orang Padang. Rasanya? Tidak persis sama. Tapi cukup untuk memanggil bayangan ibu saya, duduk berselonjor, dengan batu di pangkuan.
Seorang koki Italia, Massimo Bottura, pernah bilang, "Memasak adalah cara menyusun kembali kenangan." Maka dengan sepiring nasi jagung di hadapan, saya tak hanya makan, saya juga mengingat.
Saya menyusun kembali rumah kami yang beratap daun kelapa, suara anak-anak bermain, dan bulan purnama yang menggantung di atas Baranusa seperti lentera para dewa.
Di zaman ketika semua hal harus cepat, kadang yang paling kita butuhkan justru adalah suara lambat dari batu yang menumbuk jagung. Dan mungkin, dari dapur yang tak hanya menyajikan makanan, tapi juga keheningan dan cinta.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI