Ibu sudah membentang tikar di halaman depan. Bulan purnama yang resik menyulu seantero Baranusa. Langit bersih tanpa cela. Angin laut bergerak lambat, seolah malas mengusik malam yang sedang khusyuk.
Kami bermain peta umpet atau ereng-ereng di halaman rumah. Kadang, kalau sudah lelah, kami meringkuk di paha ayah sambil mendengar dongeng, tutu uli-uli.
Tapi sejatinya, kami hanya menemani ibu. Karena tiap bulan purnama, beliau pasti duduk berselonjor, menyingsingkan sarung, dan memulai satu ritual purba: titi jagung.
Di hadapannya, batu pipih yang sudah dipakai turun-temurun. Tangannya kuat meski sudah keriput. Satu tangan menggenggam batu pemukul, satu lagi menjaga butir-butir jagung agar tak menyebar liar.
Suara batu menghantam biji terdengar khas-tok-tok-tok-berpadu dengan ketukan dari rumah tetangga. Satu suara timbal balik dari berbagai arah. Kadang serempak. Kadang menyela. Namun semua menyatu, seperti irama jazz malam kampung yang tak butuh komposer.
Tak ada yang menyuruh mereka melakukan ini. Tak ada kalender resmi yang menandai malam titi jagung. Tapi mereka tahu. Tubuh mereka tahu. Bahwa saat bulan bundar menggantung utuh di langit Baranusa, itulah saatnya.
Maka tangan-tangan ibu di Baranusa bekerja, bukan karena disuruh, tapi karena mengerti. Seperti bumi yang tahu kapan hujan harus turun.
Jagung yang sudah diluruh dan dijemur akan dititi hingga pecah. Lalu digiling di batu putar, seperti zaman Mesopotamia kuno.
Selesai digiling, ibu akan mengayaknya. Terbagi dua: tepung halus dan butir jagung kasar. Yang satu menjadi bubur dan kolak, yang lain disiapkan untuk menggantikan nasi.
Saya menyukai bagian yang kasar. Karena darinya muncul apa yang kami sebut "nasi jagung"-sejenis beras lokal yang lebih kokoh, lebih bersahabat dengan perut yang lapar dan cuaca yang terik.