Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masjid Dulu dan Sekarang

15 Maret 2018   14:01 Diperbarui: 15 Maret 2018   14:07 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang kawan yang baru pulang libur bercerita pada saya tentang perubahan sosial di kampung. Dengan sedikit gaya genyeknya, ia berkisah, sepanjang liburan, setiap kepalanya melongok ke dalam masjid, isinya hanya orang-orang tua usia 70 tahun ke atas. Istilah kawan ini "masjid yang tengah mengalami defisit regenerasi."

Katanya, setiap ia pulang magrib dari masjid, pasti ia temukan, saudara dan ponaannya nimbrung dan berasyik-masyuk update status di lini masa (facebook/instagram). Tanpa peduli waktu magrib. Saya bilang padanya, itulah perubahan sosial. Ada perubahan fundamental dalam suatu corak sosial akibat berubah juga elemen-elemen informasi yang membingkainya.

Waktu masih di bangku MTsN Baranusa, setiap apel pagi, paman guru Akbar Kapa periksa mengaji dan shalat berjamaah di masjid. Jangan coba-coba tidak mengaji di surau dan shalat berjamaah di masjid, kamu bisa berdiri satu kaki depan halaman sekolah hingga jam istirahat pertama. Jadi masa-masa itu, beberapa masjid di Baranusa semaraknya bukan main. Isinya rata-rata anak MTsN Baranusa. Waktu di bangku MI pun sama, selalu ada pemeriksaan shalat berjamaah di masjid.

Bukan karena ramai atau semaraknya masjid. Saya melihatnya (sekarang), masa-masa itu adalah suatu pertumbuhan nilai yang dilakukan secara kolektif sejak dini. Guru-guru kami itu meletakkan sesuatu yang sangat berharga setelah puluhan tahun kami tumbuh dewasa dan merasakan maslahatnya.

Setiap ba'da magrib, di masjid kami latihan wudu, shalat berjamaah, shalat jenazah dan berbagai dasar pengetahuan agama. Bahkan saya masih ingat, ketika di bangku MI hingga MTs, paman Tamukung Amir (alm), dengan nada suara baritonya, memandu anak-anak dalam latihan shalat di masjid raya Baranusa. Di pagi hari, kami harus berbondong-bondong ngaji ke surau jou Dikke (alm), dengan membawa jerigen lima liter bersisi air untuk keperluan jou Dikke. Jadi saya mulai bisa shalat berikut tahu bacaannya itu ketika sering ikut latihan di masjid raya. Bukan di sekolah formal.

Jadi, dimasa-masa itu, mindset memasyarakatkan masjid dengan shalat berjamaah, adalah suatu pola pikir yang sudah ditransfer sejak bangku MI (SD) hingga MTs (SLTP). Ada suatu "transfer of knowledge" yang meletakkan masjid dan sholat berjamaah sebagai pilar bertumbuhnya kesadaran agama dan bersosial.

Jadi dalam bentuk terkecil dari suatu masyarakat, para guru-guru kami di MI hingga MTs, melakukan suatu tranformasi etik berbasis keagamaan secara kolektif. Dengan pola atau metode yang varian. Saya juga masih mengingatnya, betapa setiap classmeeting; pasca ulangan catur wulan, kalau musim tanam, pasti kami pergi membersihkan kebun para guru-guru kami. Baik guru di sekolah maupun jou di surau. Jadi kami melakukannya karena "pride."

Jadi dalam langgam pendidikan yang agak sedikit konservatif itulah, nilai-nilai sosial kami bertumbuh. Membangun karakter. Setidak-tidaknya, dalam memori kolektif setiap anak-anak yang pernah bersekolah Baranusa di era-era itu, memiliki jejak dasar keberagamaan. Ada nilai-nilai dasar yang ditanam sekuat-kuatnya dalam perilaku kolektif (dari sekolah ke masjid).

Saya membayangkan, bagaiman ceritanya kini, ditengah suatu revolusi informasi berbasis industri digital yang begitu masif hingga menembus relung-relung sosial masyarakat pelosok. Mungkin termasuk orang-orang di kampung sana. Dalam ilmu sosiologi, ada terminologi "shock of culture." Secara teoritis, shock of culture adalah adalah perubahan nilai budaya seiring dengan perkembangan jaman dan wawasan yang makin berkembang ini biasanya terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru.

Jadi shock of culture itu meniscayakan adanya suatu dinamika gerak dalam perilaku sosial (social behavior). Revolusi digital, itu seperti suatu pusaran arus nilai; yang begitu kuat menghela berbagai macam hal ihwal perilaku sosial ke dalamnya. Cara masyarakat mendapatkan sesuatu pun semakin pragmatis. Kemudahan mengakses informasi, membuat masyarakat di kampung sana sangat dekat dengan berbagai hal baru yang terjadi secara domestik dan global. Entah itu hal-hal yang baik ataupun buruk.

Hal-hal yang tadinya tabuh, menjadi sangat permisif dan bergerak mencari bentuknya yang lebih kolektif. Hal-hal yang dulu dianggap pamali mungkin bisa menjadi lumrah. Begitu dan seterusnya ke soal-soal etik lain. Hingga suatu waktu, jika isi masjid di kampung adalah sekumpulan orang tua berusia di atas 70-an, juga dianggap sesuatu yang lumrah saja. Jadi kita sedang bertumbuh menuju suatu langgam atau corak sosial; seiring revolusi informasi digital. Jangan heran !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun