Haram hukumnya melakukan kerjasama di bidang kepelabuhanan tanpa ada konsesi pemerintah (Menhub) sesuai ketentuan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Apalagi kerjasama dengan perusahaan “ASING”. Kerja sama dengan perusahaan “ASENG” sekali pun harus melalui konsesi Menhub sebagai otoritas pelabuhan.
Tapi To’o lagi-lagi jago dan tak putus akal, ia masih punya jurus angin ribut dan senjata. Dengan menggunakan argumen PP 64 tahun 2015 Tentang Kepelabuhanan To’o menghadang DPR. Seakan-akan PP 64 Tahun 2015 Tentang Kepelabuhanan ini memberikan ruang dan keleluasaan pada Pelindo II memperpanjang kerjasama dengan HPH tanpa perlu ada konsesi Menhub RI, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut [lembaga di bawahnya yaitu; Otoritas Pelabuhan Utama sebagi Unit Penyelenggara Pelabuhan].
Mungkin si To’o sudah kalap. Ia bersembunyi di balik tafsir hukum yang getas tentang PP 64 Tahun 2015. Lagi-lagi, PP 64 ini tak dibacanya utuh. Atau mungkin To’o terlalu PD dengan PP prematur itu [PP ini baru dikeluarkan pada 19 Agustus 2015].
Alih-alih PP ini mendukung Pelindo II memperpanjang kerjasama dengan HPH tanpa konsesi pemerintah, justru PP ini setelah ditelaah dan dikaji, justru memberikan penguatan pada UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Sebagai operator, usaha kepelabuhanan, termasuk kerjasama dengan pihak lain, apalagi dengan perusahaan asing, harus melalui konsesi menhub sebagai otoritas pelabuhan.
Dalam UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Pasal 82 Ayat (4) secara jelas menerangkan, bahwa otoritas pemerintah dalam hal ini menteri perhubungan, berperan dalam memberikan konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan (BUP) untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian. Termasuk konsesi kerjasama dengan pihak luar (asing).
Demikianpun pada UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 92; menegaskan : Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dilakukan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan, yang dituangkan dalam perjanjian.
Tentu, sebagai operator, Pelindo II harus taat, patuh, tunduk, dan sembah sujud pada UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 93 yang berbunyi : Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 berperan sebagai operator yang mengoperasikan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. Tugas Pelindo II itu operasional teknis kepelabuhanan.
Jelaslah, bahwa UU ini membatasi Pelindo II, agar tidak seenak udel melangkahi keharusan-keharusan yang sifatnya regulatif. Dalam UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ini, secara jelas menegaskan tugas dan peran pemerintah sebagai otoritas kepelabuhanan; sebagaimana termuat dalam Pasal 82 ayat (4) dan Pelindo sebagai badan usaha pelabuhan [BUP]; atau sebagai operator; dalam pasal 93.
Menjadikan PP 64 tahun 2015 tentang Kepelabuhanan sebagai basis argumen dan pembenaran oleh Pelindo II, justru menjadi senjata makan tuan. Pada PP 64 tahun 2015 tentang Kepelabuhanan Pasal 74 ayat (1, 2 dan 2a), secara jelas menerangkan, bahwa usaha kepelabuhanan baru boleh dilakukan, setelah ada konsesi dari otoritas pelabuhan [pemerintah]; dalam hal ini menteri perhubungan kepada badan usaha pelabuhan (dalam hal ini Pelindo II).
Dari ketentuan UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran inilah, tiga menteri perhubungan berturut-turut dari Fredric Nomberi, Mangindaan hingga Jonan, mengingatkan To’o Lino, agar perpanjangan kerjasama dengan HPH atau pihak asing manapun, belum bisa dilanjutkan sebelum adanya kajian dan konsesi dari pemerintah [Kementerian Perhubungan] sebagai otoritas pelabuhan. To’o Lino tak perlu menyeruduk UU. Bila ia meminta, pasti konsesi itu diberikan pemerintah, selagi dalam bisnis kepelabuhanan itu menguntungkan kepentingan nasional.
To’o lupa, bahwa kerja sama dengan perusahaan asing itu tujuannya Transfer of Technology. Gila saja kalau 20 tahun kerjasama dengan HPH, tak ada Transfer of Technology kepada pekerja di JICT. Mestinya, dengan kerjasama yang lama itu, pekerja JICT sudah lebih professional dan mandiri. Sebelumnya Menteri Perhubungan Jonan mengirim surat kepada menteri BUMN Rini Soemarno agar pelabuhan yang masa konsesinya akan habis tak lagi dikerjasamakan dengan asing. Menurut Jonan, 20 tahun adalah waktu yang cukup agar pelabuhan peti kemas dikelola oleh anak bangsa secara mandiri.