“James…waduh, kapan kamu ke Jogja?” Sambil mendekat, tangannya langsung menjabat tanganku erat-erat.
Akhirnya bertemu lagi setelah sekian lama. Kala itu kami sangat akrab, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh makna. Rangkulan tangannya seolah menghadirkan semua pengalaman masa kanak-kanakku. Indah rasanya mengembalikan gambaran masa kecil yang penuh makna.
“Oh iya, di mana kosmu?” Tanya Alex
“Aku baru saja tiba dan mau diantar ke kos.” Tukasku
“Ayo… sekalian cerita di kosku saja.” Lanjutku
Kami mulai bercerita setelah semua perlengkapan selesai diletakkan. Alex tidak seberuntung diriku. Aku diberi kebebasan oleh orang tuaku untuk memilih jurusan sesuai keinginanku. Tetapi Alex rupanya berseberangan denganku. Alex berminat di bidang politik. Alex sudah mengatakan sejujurnya kepada kedua orang tuanya, tetapi jawabannya tetap sama. Orang tuanya menghendaki Alex memilih jurusan fisika. Kendati Alex sudah mencoba menolak beberapa kali, jawabannya tidak selalu baik.
“Kamu harus memilih jurusan fisika. Di kampung kita belum ada orang yang mengambil jurusan itu. Manakala kamu mengambil bidang politik, kamu hendak berpolitik di mana?” Tegas sang ayah.
“Tetapi aku tidak berniat di bidang fisika Pa.” Jawab Alex singkat.
“Jangan keras kepala nak, apa yang dikatakan orang tua, bukan semata-mata untuk menghukum kamu melainkan karena masa depanmu yang baik.” Lanjut ibu Alex
Alex tidak bisa berkata-kata lagi. Kedua orang tuanya serentak menganjurkan pilihan yang sama. Semangat kuliahnya pudar. Awalnya dia sudah berapi-api setelah ayahnya mendukung berkuliah di Jogja. Tetapi belum mengatakan tentang jurusan yang telah Alex minati. Kini hatinya hancur. Seolah ditusuk sebilah pedang terasa. Hari-hari dilaluinya dengan kemurungan. Senyuman yang tampak dari wajahnya sekedar formalitas untuk menyenangkan kedua orang tuanya.
“Aku tidak mampu mengambil jurusan itu. Aku bahkan trauma. Salah satu mata pelajaran yang paling aku tidak suka adalah fisika, bagaimana aku berani mengambilnya?” Keluh Alex.