Mohon tunggu...
Yakobus Asa
Yakobus Asa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Calon Imam, Kongregasi SSCC

Syarat untuk menjadi penulis ada tiga, yaitu: menulis, menulis, menulis – Kuntowijoyo. saat ini masih menempuh pendidikan di uiversitas sanata darma, kampus Teologi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebebasan Memilih

1 November 2023   12:37 Diperbarui: 1 November 2023   12:44 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Parangtritis, Dok. Pribadi

Dia adalah Alex. Lelaki yang pernah aku kenal dan menjadi patner masa kecilku. Dia bahkan sangat dekat layaknya saudara serahim. Masa kanak-kanaku menyenangkan, berkat kehadiran dirinya dalam hidupku. Alex lebih tua empat tahun dariku. Demikian juga tinggi dan berat badanya. Tetapi ciri fisiknya tidak menunjukkan sedikit pun arogansi dirinya. Alex selalu menyayangiku. Masih tersimpan hangat dalam benakku pengalaman waktu itu. Ada dua orang sahabat yang tengah mengeroyok dan memukuliku kala itu. Syukur bahwa Alex tiba tepat pada waktunya. Dialah yang menjadi mediator antara kami. Hebatnya dia terletak pada kebijaksanaan kata-katanya.

“Pasti semua orang tidak menyukai perkelahian. Kalian berdua tahu hal itu, tapi kalian selalu melakukannya. Tidaklah kalian malu! Kalian berteriak, berkata kasar dan memukul satu sama lain, apa kalian pikir ini adalah sebuah drama konyol yang mau dipertontonkan pada depan nanti?” Jelasnya dengan nada yang sangat tenang.

“Alahh… sok bijaksana kamu.” Ledek Tinus, salah seorang temannya.

“Tidak… aku bukan manusia bijaksana maupun manusia sempurna. Tetapi orang tuaku selalu mengajarkan keteraturan hidup. Hidup bukan untuk mencari kesempurnaan melainkan keteraturan. Itu yang selalu ditekankan ibuku. Jadi tidak baik kalau permasalahan hanya diselesaikan dengan kekerasan” Jelas Alex.

“Kamu mau dipukuli juga?” Tantang Nusto, sahabat Tinus

“Tiada untungnya bagiku menggunakan kekerasan untuk membalasnya padamu. Tetapi ada cara lain yang lebih ampuh untuk menyelesaikan masalah.” Tegas Alex. Segera setelah ucapan itu dilontarkan, Tinus dan Nusto tidak membalas sepatah kata pun. Dunia seolah diam seribu bahasa. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Dalam diam, mereka pun meninggalkan tempat itu.

Meski masih anak-anak usia 9 tahun, perkataannya sungguh berwibawa. Tidak heran, banyak kaum hawa yang dekat dengannya. Aku merasa bangga berteman dengannya. Ke mana saja kami bermain, kami selalu diterima. Hanya beberapa teman yang memiliki kepribadian nakal yang selalu menjauh dari kami. Bahkan membenci karena dianggap sok dewasa. Itulah fakta persahabatan. Tidak dipungkiri, bahwa watak ini telah mendarah daging dalam diriku hingga dewasa, kendati kami harus dipisahkan oleh jarak.

Sifat Alex diwariskan oleh kedua orang tuanya. Seperti kata pepatah, “jatuhnya buah kelap pasti tidaklah jauh dari pohonnya”. Ayahnya dikenal karena kepribadian yang tenang dan disiplin dalam segala hal. Demikian juga ibunya, wanita yang selalu berkomitmen pada waktu serta bertanggung jawab. Sayangnya, kedisiplinan itu terkesan mengekang kebebasan anaknya, sehingga anak anaknya harus mengikuti semua kemauan orang tuanya.

Setelah menyelesaikan Pendidikan dasar, orang tuaku mendapat penugasan baru di luar provinsi. Kami sekeluarga tidak bisa hidup tanpa ayah. Mau tidak mau kami harus mengikutinya. Sebab inilah yang memisahkan ikatan persahabatan kami. Alex tetap berada di dekapan keluarganya, entah melanjutkan pendidikan atau tidak, masih nihil dalam pikiranku. Setelah meninggalkan Alex, hari-hariku berubah drastis. Di tempatku yang baru, semua orang menghindariku karena berbeda latar belakang suku dan warna kulit. Selain itu, aku orangnya introvert sehingga sulit bergaul dengan orang lain. Kendati hari-hariku penuh dengan liku-liku tantangan, semangat belajarku tidak pudar.

Enam tahun telah berlalu. Kini tiba waktunya melanjutkan strata 1. Aku memilih jurusan biologi sesuai kemampuanku. Orang tuaku orangnya fleksibel, mereka selalu menuruti keinginan anak semata wayangnya. Ketika kulontarkan pilihanku, mereka tidak keberatan. Ayah dan ibu malah senyum mendengar ucapanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun