Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wild Sakura #Part 25 -1: Sebuah Kesepakatan

10 Juni 2016   16:08 Diperbarui: 10 Juni 2016   16:12 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="quotesvil.com"][/caption]

 Sebelumnya, Wild Sakura #Part 24-2 ; Apa Salahk!

Malam kian larut, belum ada tanda-tanda keberadaan Sonia. Rocky memutuskan untuk menunggu di kamar Erik, setelah mereka semua menyusuri sebagian besar belahan kota Jakarta dengan cara menyebar dan tak mendapatkan hasil apapun. Sementara Dimas dan yang lainnya berkumpul di tempat Gio. Secara, Sonia belum tahu dimana kediaman Bayu dan Ian. Mereka berharap Sonia hanya sedang butuh sendiri lalu akan pulang atau paling tidak mendatangi kediaman Gio seperti tempo hari.

Edwan sendiri pulang saja ke rumah, masih ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan juga.

"Aku tidak bisa diam di sini!" seru Rocky setelah kenyang menelan kediaman selama beberapa jam di kamar sempit yang hanya berisi kasur lantai, kipas angin, lemari pakaian. Tv flat ukuran 19 inch lengkap dengan dvd dan soundsistem kecil di sebuah meja, juga tumpukan beberapa buku, kaset dvd. Ruangan itu tertata rapi, tak ada barang yang berserakan. Erik termasuk pemuda yang rapi dan bersih.

"Lalu kamu mau mencari Sonia kemana lagi?" tanya Erik menatapnya, "kita sudah mencarinya kemana-mana Ki, sudahlah..., aku yakin Sonia akan kembali dengan selamat!"

"Mulutmu berkata dengan tenangnya, tapi hatimu juga kuatir kan Rik?" tukas Rocky, "kamu juga begitu mengkhawatirkan Sonia kan, kita nggak bisa diam saja di sini Rik!" lanjutnya dengan berdiri.

Erik sedikit mendongak menatap Rocky yang jelas nampak gelisah, ia memang merasakan firasat itu juga. Setelah ia tahu kalau Rocky adalah putra Danu wijaya, ia bisa mengambil kesimpulan. Danu Wijaya dan Hardi Subrata telah mengumunkan dengan resmi bahwa keluarga mereka akan menyatu melalui anak-anak mereka. Masing-masing hanya memiliki anak tunggal, yaitu Rocky dan Nancy. Di pecatnya Sonia dari kedai soto pak No adalah ulah Nancy, yang mungkin berarti gadis kaya itu tahu kalau Rocky berpaling kepada Sonia. Jadi tidak menutup kemungkinan jika menghilangnya Sonia ada hubungannya dengan permasalahan itu.

"Apa kamu tidak mencurigai keluargamu atau tunanganmu tentang menghilangnya Sonia?" seru Erik seperti sebuah tuduhan. Rocky membalas tatapan itu dengan sedikit membelalakan matanya, "apa maksudmu Rik?" tanyanya.

"Kamu bilang kamu nggak akan menyakiti Sonia, tapi sejak awal..., kamu sudah menanam benih luka itu. Sejak kamu mendekati Sonia sementara kamu sudah bertunangan dengan Nancy. Hampir semua orang tahu, bahwa pernikahanmu dengan Nancy sudah pasti akan terjadi, lalu bagaimana..., kamu akan mencoba untuk nggak menyakiti Sonia?"

Rocky tercenung. Erik bekerja tak jauh dari perusahaannya, lebih lama dari dirinya yang bahkan baru pulang dari Amerika tahun lalu. Sudah pasti Erik tahu siapa penguasa daerah itu, dan apa saja yang terjadi.

"Aku baru sadar kalau kamu adalah putra tunggal Danu Wijaya, kalau saja dari awal aku tahu..., mungkin kedekatanmu dengan Sonia bisa di cegah!"

"Pertemuanku dengan Sonia adalah takdir, Rik. Mungkin sama juga, seperti pertemuan Sonia denganmu, dengan Dimas, apakah kita bisa mencegah semua itu?" balas Rocky, menatap Erik semakin dalam. Lalu ia berjalan ke jendela yang gordennya masih tersibak, menatap keremangan di luar yang kian gulita, "kamu juga pasti pernah merasakannya, Rik. Saat kita bertemu dengan seorang gadis yang mampu menggetarkan jiwa kita hanya dengan kerlingan matanya saja, aku merasakan itu...setiap menatapnya!" nadanya berubah sendu. Mengingat setiap kerlingan mata Sonia yang memberikan sorot kedamaian ke dalam hatinya. Erik juga merasakan itu, setiap ia melihat kilatan bahagia di mata Aline. Senyuman gadis itu yang masih bau kencur, tapi begitu menghanyutkan. Ia membenarkan perkataan Rocky.

"Mungkin kamu benar, kita memang nggak bisa menolak takdir. Tapi kamu tahu..., Sonia sudah mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya sejak dia lahir. Dia..., datang ke kota ini untuk mencari ayah kandungnya!" ujar Erik. Rocky melirik sejenak melalui bahunya, "menurutku..., untuk saat ini, kita harus membantunya untuk menemukan ayah kandungnya!" usul Erik. Kali ini Rocky berbalik,

"Tapi kita bahkan nggak tahu siapa namanya?"

Erik menyandarkan kepalanya ke tembok di belakangnya, "Sonia bilang..., keluarga ayahnya itu adalah termasuk pengusaha sukses di kota ini. Itu artinya..., jika Sonia bisa berkumpul dengan ayah kandungnya...bukankah itu semua menjadi lebih mudah. Untuk kehidupan Sonia, juga untuk hubungan cintanya...entah itu sama kamu, atau Dimas!"

Rocky menyipitkan matanya, tentu harus dengan dirinya, bukan Dimas! Tapi apa yang di katakan Erik itu benar, jalan satu-satunya untuk membuat Sonia di terima oleh keluarganya, jika status sosialnya sama. Tapi apakah benar begitu?

Rocky akhirnya harus pulang, ia akan mencoba menanyakan apakah orangtuanya mengetahui tentang hilangnya Sonia? Tapi begitu sampai rumah, kedua orangtuanya sudah tidur. Jadi ia putuskan untuk bertanya esok paginya saja.

* * *

Sonia membuka matanya perlahan, dinding-dinding putih mengelilinginya. Sendi-sendinya masih terasa pegal, ia menyapukan pandangannya ke seisi ruangan. Rumah sakit. Ia menggerakan tubuhnya, mencoba bangkit duduk. Sepertinya ia telah lama pingsan!

Tubuhnya sedikit terlonjak mendengar suara pintu terbuka, sosok yang muncul di ambang pintu itu membuat matanya harus terbeliak lebar.

"Kamu sudah bangun?" serunya menutup pintu dan berjalan menghampiri. Sonia menatapnya tajam, "bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanyanya lagi. Berdiri di sisi ranjang.

Sonia ingat memang dialah sosok yang muncul sebelum dirinya pingsan semalam, ia sedikit membuang muka seraya menjawab, "baik!"

"Kamu masih saja acuh sama aku!" tukasnya dengan mengulum senyum. Senyum yang sebenarnya manis dan membuatnya terlihat tampan, tapi hal itu sedikitpun tak membuat gadis di depannya terpengaruh.

"Dimana aku?"

"Rumah sakit!"

"Aku tahu, maksudku...dimana ini?"

Ia mengerti maksud sang gadis, semalam ia menemukan gadis cantik itu di dekat perbatasan Sukabumi. Entah apa yang terjadi, tapi ia tahu gadis itu baru saja mengalami hal yang buruk. Ada seseorang yang hendak mencelakainya, itu jelas terlihat dari bekas tamparan di pipi dan bekas ikatan di pergelangan tangannya yang lebam.

"Kita ada di rumah sakit Siloam, aku nggak mau ambil resiko dengan membawamu ke klinik atau rumah sakit kecil terdekat semalam!"

"Aku nggak apa-apa, aku cuma kelelahan mencari jalan keluar dari hutan!" elaknya.

Pemuda itu memperdalam tatapannya, mencoba menebak siapa yang hendak melukai gadis yang membuat hatinya goyah itu. Meski ia tahu gadis itu selalu acuh dan tak suka padanya, tapi justru karena gadis itu tak menginginkannya maka ia sangat menginginkannya.

"Siapa yang melakukan itu?" tanyanya. Sonia memutar wajahnya hingga mereka kembali bertatapan, ia merasa tak perlu memberitahu.

"Ayolah Sonia, nggak mungkin kamu sengaja berada di sana kan?" terkanya, "dari kondisimu, aku tahu ada yang berbuat jahat sama kamu. Mungkin aku bisa membantu!"tawarnya.

"Itu bukan urusanmu, Ryan!"

"Fiufff...," dengus Ryan seraya mendudukan diri di tepi ranjang. Menatap ke arah jendela yang tertutup rapat, hanya gordennya saja yang tersibak, "jadi..., begitukah caramu mengucapkan terima kasih. Bagaimana kalau seandainya yang menemukanmu adalah orang jahat, atau perampok?"

"Tak ada yang bisa di rampok dariku!"

"Sungguh?" seru Ryan meragukan, memutar kepalanya hingga dapat menatap wajah Sonia lebih dekat. Ia memberikan tatapan penuh arti ke arah wajah Sonia, lalu turun ke tubuhnya. Menanggapi tatapan Ryan, Sonia tahu apa yang di maksud pemuda itu.

"Aku masih bisa menjaga diri!"

"Bisa ku lihat, tapi mungkin..., jika melihatmu kembali...orang yang mencelakaimu pasti akan kembali bertindak!"

"Aku sudah siap menghadapi mereka!"

"Kamu tahu siapa mereka?"

Sonia kembali diam, ia hanya menggeleng. Terdengar Ryan mendesah halus, "tapi...dua di antaranya adalah orang yang tempo hari!" serunya. Ryan sedikit membelalak, "orang yang tempo hari, kamu yakin?"

"Aku masih ingat wajah mereka, bahkan aku juga mengingat wajah orang yang menamparku dan meninggalkanku di jurang!"

Kediaman kembali menyergap. Tak lama, hanya beberapa menit. Ryan kembali memecahkan keheningan, ia tak bisa jika harus berkutat dalam hening terlalu lama bersama Sonia di sebuah ruangan. Menatapnya dalam, dengan segala sikap acuh dan dingin gadis itu. Karena perangkap suasana itu akan membuatnya tergoda, ia bisa saja berbuat nekat. Memeluk, atau bahkan memagutnya. Dan mungkin akibat dari itu ia akan mendapat sebuah tamparan dan makian.

"Aku tahu siapa mereka!"

Sonia membuka matanya lebih lebar, "apa?" serunya. Ia seolah tak percaya dengan ucapan Ryan, "kamu tahu?" ragunya. Ryan mengangguk mantap, "aku bisa memberitahumu mereka bekerja untuk siapa, tapi ada syaratnya!"

"Syarat!" sahut Sonia, ia menangkap sesuatu yang harus ia curigai daei sorot mata pemuda di hadapannya, "nggak ada yang gratis di dunia ini, tapi kamu ingin tahu kan...kenapa orang ini mau mencelakaimu?"

"Apa syaratnya?"

Ryan tersenyum simpul, senyum yang menyimpan sesuatu. Ia menggerakan tubuhnya lebih dekat ke arah Sonia, menaruh tangan kirinya melewati tubuh gadis itu dan mendaratkannya di kasur. Membuat posisi Sonia terkurung olehnya, gadis itu sedikit memundurkan kepalanya, "kamu harus nge-date sama aku selama seminggu, dan nggak boleh menolak semua keinginanku!" tawarnya.

Mata Sonia membesar kembali, "apa, kamu gila?" makinya. Tentu saja ia tidak akan menyanggupi syarat itu, "aku lebih baik mencari tahu sendiri, aku nggak butuh bantuan kamu!"

"Kalau tiga hari?" Ryan mencoba memberi keringanan, berharap gadis itu mau mempertimbangkannya. Tapi rupanya itu tetap tak berhasil.

"Terima kasih, tapi aku sungguh nggak butuh bantuan kamu. Lagipula..., aku nggak mau ambil pusing masalah ini!" Sonia tetap menolaknya.

Hal itu membuat Ryan harus berbuat sedikit kenakalan, karena susah sekali mendapatkan perhatian si gadis, "ok..., nggak apa-apa. Aku nggak akan memaksa kamu, aku yakin kamu bisa mengatasi masalah ini sendiri. Tapi..., memangnya kamu punya uang untuk mengganti biaya rumah sakit yang udah aku keluarkan?" pancingnya.

Sonia tertegun.

"Ini rumah sakit elit loh, biayanya nggak murah!" tegas Ryan.

Sonia kian termangu. Tentu saja ia tak punya uang untuk mengganti biaya rumah sakit yang sudah Ryan tanggung, bagaimanapun Ryan memang sudah menolongnya. Jika ia bertemu dengan orang jahat, berandalan atau semacamnya, mungkin nasibnya akan jauh lebih buruk. Dan jika Ryan berniat jahat, tidak mungkin pemuda itu membawanya ke rumah sakit.

"Bagaimana?" tagih Ryan. Sonia membalas tatapan pemuda itu yang sedang menunggu jawabannya, tatapan yang di iringi dengan senyum yang menyimpan puas kemenangan.  

 

"Gadis itu menghilang," seru Danu, menatap putranya yang bertanya dengan sedikit nada tuduhan, "baguslah, jadi papa tidak perlu repot melakukan sesuatu. Jika dia pergi, itu artinya dia tahu diri!" sambungnya.

Sahutan dari papanya harus membuat Rocky mengeraskan rahangnya, sepertinya papanya memang tidak tahu akan hal itu. Tapi ia tetap saja tidak suka dengan buah pemikiran orangtuanya, "keputusanku sudah bulat pa, aku tidak akan menikah dengan Nancy!" tegasnya.

Senyum kecil Danu menghilang dalam sekejap, ia bisa melihat keseriusan di raut wajah putranya, "aku mencari Sonia sampai ketemu, aku hanya akan menikah dengannya!"

"Kamu tidak akan bisa menikah tanpa restu papa dan mama!" tukas Alena, Rocky kini beralih menatap mamanya, "kalau begitu aku akan membuat kalian merestuinya!" sahutnya berdiri dari meja makan. Masih menatap mamanya. Danu dan Alena membalas tatapan itu,

"Gadis jelata itu tidak akan pernah menjadi bagian keluarga ini, Rocky. Kamu tahu itu, tidak akan pernah!" tegas Danu. Rocky tak menyahut, ia malah menyingkir dari ruang makan. Berjalan ke pintu keluar. Kedua orangtuanya menatapnya hingga menghilang di balik pintu.

"Ini tidak bisa di biarkan!" desis Danu.

"Mama jadi penasaran, seperti apa gadis itu?"

Danu menoleh istrinya, ia masih ingat seperti apa rupa Sonia meski baru bertemu langsung sekali waktu di resto. Itupun mereka tak bertatap muka langsung, tapi dari foto yang Hardi tunjukan...

"Terus terang, dia memang cantik!" sahutnya mengakui. Dari nada suara suaminya, Alena jadi ingin melihat langsung bagaimana wajah gadis yang membuat putranya harus membatalkan pertunangannya dengan Nancy. Bukankah Nancy juga cukup cantik?

Dimas sengaja ijin tidak masuk sekolah, ia ke tempat Erik. Berencana akan kembali mencari Sonia jika hingga siang gadis itu tidak nampak. Erik juga ijin kerja. Sementara Gio, Ian dan Bayu tetap masuk sekolah.

"Bagaimana ini Rik, dia bahkan belum kembali. Nomornya sama sekali tidak aktif!" cemas Dimas.

"Kita cari lagi ke seisi kota, Sonia nggak mungkin meninggalkan ibukota. Jika kita belum menemukannya juga, kita lapor polisi saja!" usul Erik.

"Itu ide yang bagus, ayo...tunggu apalagi!" antusias Dimas, ia segera berjalan ke motornya. Tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah motor yang cukup ia kenal mendekat. Dan yang duduk di jok belakang itu...

SONIA!

Jadi benar, dasar brengsek!

Motor itu merapat. Sonia segera turun, Dimas sudah memasang wajah cemas, bahagia, geram bercampur kadi satu. Ryan sudah mengulum senyum nakal sedari balik helm hingga helm itu terbuka. Ia ikut turun juga.

Sonia diam menatap Dimas yang berdiri tak jauh darinya. Mata mereka beradu, ada perasaan yang tak menentu menghantam dada Sonia. Sebenarnya Dimas sedikit tercengang dengan bibir Sonia yang pecah dan meninggalkan bekas, juga beberapa baretan di wajahnya.

"Sonia, akhirnya kamu...!" girang Dimas melangkah maju hendak memeluknya. Tapi Ryan segera menghentikannya, "eh...eh...eh...kamu mau apa?" hadangnya.

Mata Dimas kini terpartri ke wajah Ryan yang sudah berdiri di depan Sonia, "itu bukan urusanmu, minggir!" sahutnya. Ryan menyunggingkan senyum kecut,  

"Kamu yang seharusnya minggir!"

Dimas mengepalkan tinjunya, "jadi memang benar, kamu yang menyembunyikan Sonia. Apa yang kamu lakukan terhadapnya?" lantangnya.

"Menyembunyikan? Ya..., aku sudah dengar dari Evan soal itu. Tapi maaf Di, aku nggak menyembunyikan Sonia!"

"Pembohong, kamu memang brengsek!" seru Dimas meninju wajah Ryan hingga terpental ke samping. Sonia terkejut dengan aksi spontan Dimas. Sementara Erik hanya menonton.

Ryan menyeka lubang hidungnya yang berdarah, ia melihat tangannya yang merah lalu membalas pukulan Dimas. Mereka jadi beradu fisik.

"Hentikan!" seru Sonia. Tapi keduanya tak ada yang mau mendengar, terlebih Dimas. Amarah menguasainya, apalagi ia melihat wajah Sonia yang lebam dan tergores-gores, pastilah Ryan melakukan sesuatu yang buruk!

Melihat pertarungan kedua pemuda itu, Soniapun akhirnya mengambil langkah. Ia masuk ke dalam perkelahian dan memisahkan tubuh keduanya, "cukup!" ia berdiri di tengah-tengah. Kedua tangannya terentang, yang kiri berada di dada Dimas dan yang kanan di dada Ryan. Dimas kembali hendak menyerang Ryan,

"Dimas!" teriak Sonia menghentikannya. Dimas terdiam seketika, kini Sonia menurunkan kedua tangannya, bergeser hingga bertatapan dengan Dimas.

"Ryan nggak menyembunyikanku, dia yang menolongku!" katanya. Dimas sedikit terbelalak, melirik Ryan yang tersenyum penuh kemenangan.

"Menolongmu!" desis Dimas.

"Aku nggak suka dengan sikapmu tadi!" ungkapnya.

Dimas tertegun.

"Sebaiknya kamu pergi!" usirnya.

Dimas kian tertegun, tak percaya dengan sikap Sonia, "ap-apa?" gadis itu mengusirnya. Apakah dia tidak tahu kalau sejak kemarin ia sangar mencemaskannya?

"Kamu nggak denger ya, Sonia menyuruhmu pergi!" timbrung Ryan. Kini mata Dimas kembali ke arah Ryan, "kamu nggak usah ikut campur!" serunya.

"Ikut campur!" tukas Ryan, melangkah ke sisi Sonia. Meletakan satu tangannya menyeberangi punggung Sonia dan mendaratkannya di bahu, seperti memeluknya dari sampingnya, "tentu aku berhak ikut campur, karena sekarang aku pacarnya!" pamernya.

Mata Dimas benar-benar molotot hendak meloncat keluar dari tempurungnya, apa ia salah dengar...atau Ryan hanya bercanda? Rasanya tidak mungkin jika itu benar, ia tahu pasti bahwa Sonia sama sekali tak menyukai Ryan. Dan tempo hari..., Sonia baru saja mengakui bahwa dirinya mencintainya dan Rocky. Dimas mengalihkan pandagannya ke mata Sonia. Memberikan sorot permohonanan agar gadis itu berkata tidak. Tapi apa yang ia terima, kilatan di mata Sonia justru membenarkan ucapan Ryan. Gadis itu juga tak mengelak saat Ryan merangkulnya. Dimas mengatupkan rahangnya dengan keras, hingga giginya beradu dan bergemeratak lirih. Ia menggeleng lemah, entah apa arti gelengan itu!

 

---Bersambung.....---

 

©Y_Airy | Wild Sakura (season 1)

 

selanjutnya, _____ | Wild Sakura #Prologue

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun