Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tempat Terindah #25 ; Terusir

5 Agustus 2015   00:31 Diperbarui: 5 Agustus 2015   00:31 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Alisa melihat Ridwan ada di depan rumahnya ketika dirinya pulang, maka iapun memutuskan untuk mundur dan bersembunyi di balik pepohonan. Sesekali Ridwan melirik arloginya, sudah lewat jam 10 malam tetapi Alisa tak juga pulang. Ia mulai cemas, maka iapun menelponnya saja.

Saat teleponnya bergetar, ia segera memungutnya. Nama Ridwan muncul, ia segera mengangkatnya .

"Halo, assalamu alalikum!"

"Waalikum salam, Alisa. Kamu ada dimana?"

"Eim, aku...aku...!" Alisa mencoba mencari jawaban, "aku di sanggar!" bohongnya, "sanggar?"

"Aku sedang malas pulang?"


"Alisa, ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan!"

"Ku rasa sudah tak....!"

"Alisa dengarkan aku dulu," potongnya, "Ini mengenai Nadine dan kita!"

"Nadine!" desisnya, ia jadi ingat ia baru saja menunggu Nadine dari sore hingga petang, dan wanita itu tak datang seperti janjinya. Membiarkannya menunggu.

"Iya!"

"Maaf, katakan saja padanya. Jangan membuatku mulai membencinya, aku bisa berbahaya!" katanya menutup telepon, "Alisa..., Alisa...!" seru Ridwan, apa maksud kata-katanya? Aku bisa berbahaya, apakah Alisa..... Ridwan mulai berfikir negatif. Kalimat Alisa adalah sebuah ancaman, itu benar kan? Tapi rasanya tidak mungkin, atau....mereka sudah sempat berbicara? Ya, tadi bukannya kata pak Aji Nadine hendak pergi lalu membatalkannya di tengah jalan. Atau mereka berbicara lewat telepon dan terjadi sesuatu? Sesuatu yang membuat Alisa marah. Itu bisa saja kan?

Ridwan akhirnya memasuki mobilnya dan pulang, dalam perjalanan ia menelpon Nadine.

"Alisa bilang begitu?" seru Nadine, "iya, aku ingin tahu. Apakah kalian sempat bicara?" tanya Ridwan. Nadine terdiam, apakah ia perlu memberitahu Ridwan soal sms itu?

"Nadine!"

"Wan, aku mengiriminya pesan. Aku mengajaknya bertemu di taman, tapi....tapi tak berapa lama ia membalas pesanku dengan begitu kasar!"

"Apa isi pesannya?"

"Dia bilang aku membuatnya tersingkir, dan aku telah merebutmu darinya. Dia juga mengancam akan menyingkirkan aku, tapi aku tidak percaya dengan pesan itu makanya aku tak memberitahukanmu!"

"Alisa menulis seperti itu?"

"Aku juga ragu soal hal itu, tapi itu benar-benar dari nomor Alisa!"

Sekarang Ridwan yang terdiam, baru saja Alisa juga mengatakan sebuah ancaman. Aku bisa berbahaya! Apakah benar itu Alisa.... Alisa yang sekarang rasanya tidak mungkin!

"Wan!"

"Aku akan mencoba bicara dengannya besok!"

Alisa memasuki rumahnya, mungkin memang seharusnya dirinya yang menjauh. Tapi jika ia pergi sekarang, ia tidak akan tampil di pementasan akbar. Pementasan itu adalah impiannya sejak ia belum keluar dari panti rehab, jadi ia tidak akan menyia-nyiakannya. Ia akan pergi, tentu saja. Setelah pementasan selesai ia akan pergi jauh,lagipula keluarga Ridwan juga sudah membencinya. Tak ada lagi alasan baginya untuk bertahan.

* * *

Alisa keluar dari rumah pagi-pagi sekali, ia tahu Ridwan pasti akan mendatanginya lagi.

Ridwan memasuki toko bakery itu, "maaf mbak Ita, Alisanya ada?" tanyanya, "maaf mas, mbak Alisa pergi sekali!"

"Oh....terima kasih!" katanya lalu keluar dari sana. Ia tahu mungkin Alisa pergi ke makam tante Sinta, maka iapun mencari kesana. Tapi Ridwan tak menemukannya, memang ada taburan bunga yang masih segar di makam itu. Itu Alisa memang datang kesana tetapi dia segera pergi, mungkin wanita itu tahu kalau dirinya akan mencari ke tempat itu.

Tempat selanjutnya adalah sanggar, tapi ia harus ke kantor. Apakah nanti malam saja ia kembali ke rumah Alisa, mungkin ia harus mencari siasat agar wanita itu tidak lari saat melihatnya. Alisa memang datang paling awal di sanggar, begitupun Cheryl dan Naya.

Mereka melakukan pemanasan sendiri terlebih dahulu, sementara beberapa gadis mulai berdatangan dan ganti baju. "hei, apa ini!" kata Diva setelah ia menginjak sesuatu dengan sepatu baletnya, ia mengamati plastik bening mungil yang berisi beberapa butir pil. Seperti obat atau vitamin, teman-temannya mendekati.

Tak ada yang tahu, mereka pada mengangkat bahu. Mereka menemukan itu di lantai dekat rak loker, merekapun segera masuk ke dalam. Memunggu Miss. Anna dan madam Selfie masuk.

"Maaf Miss, kami menemukan ini di ruang ganti!" kata Diva memberikan barang ke kepada miss. Anna yang segera menerimanya. Ia mengamatinya, membuka dan memungut satu. Mengamati kembali pil kecil itu, lalu menatap Diva.

"Dimana kamu menemukannya?"

"Di lantai Miss!" Miss. Anna menoleh pada Madam Selfie lalu, "semua ikut kami kesana!" ajaknya. Mereka kembali ke ruang ganti. Lalu Miss. Anna memeriksa satu persatu isi loker itu, termasuk mengobrak-abrik tas pemiliknya. Semua belum ada yang mengerti maksud semua itu, lalu Miss. Anna terdiam ketika menemukan barang yang sama di dalam tas di salah satu loker itu. Ia menoleh ke semua gadis, "loker ini milik siapa?" tanyanya.

Alisa maju, "saya Miss," akunya, Miss. Anna memungut tas itu dan menaruhnya di tempat duduk yang memanjang. Saat tas itu terbanting dua kantong plastik mungil yang sama seperti yang di temukan Diva terlihat dari tasnya. Semua mata terbelalak, termasuk Alisa sendiri. Ia menggeleng pelan, ia tahu barang apa itu. Tapi kenapa ada di dalam tasnya?

"Alisa," seru madam Selfie, "apa benar kamu sudah sembuh?" tanyanya, semua mata tertuju padanya.

"Madam, itu bukan milik saya!" elaknya, "tapi itu ada di dalam tas kamu, Alisa!" sahut madam Selfie, Alisa menggeleng. "kamu mau bilang kalau kamu tidak tahu bagaimana barang ini ada di dalam tas kamu, lalu apakah barang ini bisa tiba-tiba muncul saja?"

Alisa terdiam, "saya sangat kecewa sama kamu, Alisa. Saya sudah mempercayaimu, tapi....kamu mengecewakan saya, mengecewakan kami semua!"

"Madam...!"

"Simpan pembelaanmu, ikuti saya!" katanya meninggalkan ruangan itu. Mata teman-temannya memandang sinis, Alisa hanya diam mengikuti madam Selfie ke ruangannya.

Di dalam ruangan itu ia duduk berseberangan meja dengan madam selfie yang memandangnya dalam dan penuh kekecewaan, "saya sangat percaya sama kamu Alisa, tapi kamu mengecewakan saya!"

"Tapi barang itu bukan milik saya madam!"

"Barang itu ada di dalam tas kamu, apa kamu pikir barang itu bisa tiba-tiba muncul begitu saja? Alisa, saya sudah tidak bisa lagi mentolerir ini!"

"Maksud madam?"

"Hanya ada satu pilihan, kmau harus keluar dari sanggar ini sekarang juga!"

"Tapi madam,"

"Saya tidak mau melaporkanmu ke kantor polisi, itu akan mencoreng nama sanggar ini kembali. Kamu tahu, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkannya. Saya tidak bisa lagi ambil resiko itu, jadi....kamu harus keluar dari sini, dan jangan pernah kembali lagi!"

Mata Alisa mulai sembab dan memerah, tapi tak ada gunanya ia memohon. Barang buktinya ada, di dalam tasnya, tapi itu bukan miliknya. Ia bahkan sudah berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan lagi terlibat apapun dengan barang haram itu, tapi siapa yang akan pernah. Lagipula madam Selfie benar, jika kasus ini sampai ke kantor polisi....sanggar ini akan kembali jatuh, dan ia tak mau menjadi menyebabnya untuk kedua kalinya.

"Maafkan saya, madam!" sesalnya, "terima kasih....karena madam sudah pernah memberi saya kesempatan untuk bergabung lagi di sini, itu sangat berarti bagi saya!" katanya lalu bangkit dan keluar.

Ia memandangi gedung itu dari luar, sekarang harapannya untuk bisa menjadi balerina besar sudah kandas. Sama seperti harapan cintanya terhadap Ridwan, sekarang ia tak punya apa-apa lagi. Tak ada lagi alasan baginya untuk tetap bertahan di kota ini, mungkin....memang sudah takdirnya ia pergi. Iapun melangkah lunglai di jalanan.

* * *

Nadine memutuskan pergi ke sanggar siang itu, ia ingin melihat teman-temannya berlatih sekaligus bertemu Alisa. Siapa tahu saja mereka bisa bicara empat mata, meluruskan segala hal di antara merela. Tapi ia malah menemukan fakta pahit tentang Alisa,

"Itu tidak mungkin madam!"

"Kami menemukan buktinya, Miss. Anna sudah membawanya ke lab untuk di periksa, dan itu memang ekstasi!"

Alisa, apakah itu mungkin? Apakah benar Alisa masih memakai barang-barang itu?

Nadine meninggalkan sanggar dengan lunglai, ia masih tak percaya dengan semua yang di dengarnya. Iapu lalu menelpon Ridwan,

Sekarang mereka duduk di sebuah caffe di dekat kantor Ridwan, "itu mustahil!" seru Ridwan.

"Aku juga masih tak percaya akan hal itu, tetapi....!"

"Kurasa kita harus benar-benar menemuinya!"

Keduanya berpandangan, memiliki pikiran yang sama. Nadine yakin pasti ada kesalahan, tapi sejujurnya Ridwan memang mulai khawatir jika Alisa memang belum sepenuhnya sembuh. Kenyataannya, ia mengancam Nadine melalui sms balasan itu, juga secara langsung saat dirinya menelponnya.

* * *

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun