Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siluet Senja [Tentang Art]

3 Maret 2015   20:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:13 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Arthur, itu namaku. Tapi beberapa orang memanggilku Art,"
"Itu menarik sekali, dari caramu berbicara kau bukan orang Indonesia?"
"Aku orang dunia, dimanapun aku berada di situlah asalku!"
"Itu aneh!"

Pertemuan kami tak cukup sampai di hari itu saja, hampir setiap senja kami menghabiskan waktu bersama. Bercerita dan bermain musik, dia bermain biola dan aku yang menikmati. Kami menjadi sangat akrab, dia banyak bercerita tentang hidupnya.

Bagaimana dia bisa dinamai Arthur oleh seorang musisi jalanan yang menemukannya di tumpukan barang bekas di kota Wina, dia tumbuh berpindah-pindah tempat bersama ayah angkatnya. Bakatnya bermain biola sudah nampak saat usianya 4 tahun, ia mendapatkan sebuah biola bekas dari hasil mengamen dari satu tempat ke tempat lain. Sejak saat itu ia semakin mahir memainkan alat itu, sebagai seorang gipsi yang tak pernah menetap di satu tempat ia mengenal banyak bahasa. Memang di akui oleh kelompoknya dia anak yang sangat pintar dan berbakat. Mungkin sebenarnya dia seorang bangsawan atau berasa dari keluarga musisi hebat yang kebetulan terbuang atau hilang. Tak ada satupun barang yang di tinggalkan bersamanya sebagai identitasnya. Itu sebabnya sampai sekarang ia pun tak tahu siapa dirinya sebenarnya, yang ia tahu ia adalah seorang gipsi yang menyambung hidup melalui musik. Setelah ayah angkatnya meninggal, ia memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompoknya dan mencoba keliling dunia dengan caranya sendiri. Kebanyakan secara ilegal karena ia tak punya identitas pasti.

Dalam perjalanannya, ia sudah bermukim di banyak belahan dunia hingga sampai di negara ini. Katanya ini sudah ke empat kalinya ia ke Indonesia, ia cukup jatuh cinta pada negara ini hingga mempelajari bahasanya dengan lebih dalam. Ia tak pernah ingin tahu siapa dirinya, siapa orangtuanya. Itu sudah tidak penting baginya, ia hanya ingin hidup dengan musiknya, dengan karyanya. Ada beberapa simfoni yang ia ciptakan sendiri. Dia memainkannya untukku, dan itu sangat indah. Perlahan benih-benih cintapun muncul di hati kami.

Semakin banyak detik yang kami lalui bersama, semakin besar kobaran api yang tersulut di sanubari kami. Sayangnya orangtuaku mengetahui hal itu dan tak menyetujui hubungan kami. Tentu saja, selain Art adalah seorang imigran gelap dia juga hanya seorang musisi jalanan yang tak memiliki masa depan yang pasti. Tentu tidak akan bisa membuatku bahagia, tapi kebahagiaanku bukanlah ku lihat dari siapa dia dan darimana dia berasal. Tapi dia bisa mencintaiku apa adanya, bukan karena aku gadis buta dari keluarga kaya yang bisa di manfaatkan. Hampir semua pria yang melamarku sebelumnya hanya memiliki niat buruk, kalau bukan demi bisnis keluarga mereka agar bisa di sokong oleh ayahku tentu hanya untuk bisa menjadi bagian dari keluargaku. Orang tuaku memang seorang pengusaha sukses bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia. Aku memiliki seorang kaka laki-laki, dia sangat menyayangiku begitupun orangtuaku. Bahkan mereka sampai over protektif padaku, tapi aku tak suka di perlakukan seperti itu karena aku juga bisa mandiri meski aku tak bisa melihat setidaknya aku masih bisa melakukan semuanya sendiri.

Kakakku memergoki kami sedang bermain bersama di pantai, berjalan bergandengan tangan. Akibatnya Art harus babak belur di hajar oleh kak Valent, dan dia sama sekali tak melawan. Bukan karena takut atau tak mampu, tapi ia memang tak mau menyakitiku dengan menghajar kakakku. Sejak saat itu aku tak di perbolehkan lagi pergi ke pantai sendirian, harus ada bodyguard yang bersamaku. Dan jika Art terlihat maka mereka akan langsung menghajarnya.

Akhirnya demi memisahkan kami, orangtuaku menjodohkanku dengan anak rekan bisnisnya. Tak peduli kami saling mencintai atau tidak.

*****

Sebulan sebelum pernikahanku, aku menyelinap keluar di bantu oleh Ela, anak pembantuku yang juga adalah temanku sendiri. Dia menjadi perantara pesan yang aku titipkan pada Art. Kami bertemu di tempat pertama kali kami bertemu.

"Maaf, aku tak bisa menentang keputusan ini. Tapi aku tidak bisa hidup dengan pria yang tidak aku cintai. Art, maukah kau membawaku pergi. Pergi jauh dari sini, kemanapun!"

Tak ku dengar sahutan darinya. "Aku mohon, bawa aku pergi dari sini!" tangisku. Ku rasakan tangannya yang hangat membelai wajahku dan menyekopnya. "maaf, aku tidak bisa lakukan itu!"
"Kenapa?"
"Orangtuamu benar, aku tak punya masa depan untukmu. Seharusnya kita tidak bertemu, seharusnya aku tak membiarkanmu terjebak dalam hal seperti ini!"
"Pertemuan kita adalah takdir, Tuhan yang mempertemukan kita, Tuhan yang menumbuhkan cinta di antara kita. Dan tidak ada yang salah dengan itu kan!"
"Tidak, tidak seperti itu. Maafkan aku, aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Apa yang pernah kita alami itu bukanlah cinta, itu hanya kegilaan seaat!"
"Tidak!" kataku melepaskan diri darinya, "aku tahu kau juga mencintaiku, kenapa kau ingin menyangkalnya? Kau takut?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun