Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Siluet Senja [Tentang Art]

3 Maret 2015   20:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:13 150 5
Seperti biasa jika sore menjelang aku selalu menapakan kakiku di bibir pantai ini, menanti kehadiran senja yang akan menciptakan siluet indah dengan sinar jingganya. Meski aku tak pernah tahu seperti apa warna jingga itu, seperti apa warna laut yang setiap hari aku tatap. Seperti apa debur ombak yang ku dengar, aku tak pernah tahu tapi aku bisa merasakannya. Semua indah, sangat indah!

Burung-burung mulai berkicau menjauh, tapi aku mendengar suara lain yang jauh lebih merdu dari deburan ombak dan nyanyian burung. Suara yang biasa aku dengar di kaset ataupun konser musik klasik yang memang sangat aku sukai, lagu ini....aku begitu mengenalinya karena aku sangat menyukainya. Kakiku melangkah ke arah suara itu, ku ikuti tongkat yang pegang membawaku kepadanya. Semakin dekat, semakin jelas. Itu suara sebuah biola, mengalun merdu menciptakan sebuah lagu.

Tapi kali ini lebih merdu dari yang pernah ku dengar selama ini, lebih indah. Aku tak pernah mendengar seseorang memainkan biola dengan begitu indahnya seperti saat ini. Ku nikmati hingga lahunya selesai, lalu ku berikan tepuk tangan pujian padanya. Aku bisa merasakan dia menoleh padaku,

"Itu Vivaldi kan, pemainanmu sangat bagus dan indah. Kau pasti seorang violis yang hebat!" pujiku. Ku rasakan dia tersenyum di sertai tawa kecil, "kau salah, aku hanya seorang seniman jalanan!" sahutnya. Suaranya sangat merdu, "bohong!" sahutku tak percaya.

"Aku tak menyuruhmu percaya padaku, aku hanya menjawab pertanyaanmu. Apa yang di lakukan seorang gadis cantik senja-senja begini sendirian di tepi laut!"
"Aku hampir setiap hari ke sini, rumahku tak jauh dari sini!"
"Oh!"

"Aku sangat suka permainanmu, aku tak pernah mendengar seseorang bermain biola sebaik kau!" pujiku lagi, ku rasakan dia berjalan mendekat padaku. Pria itu memperhatikanku, lalu melambaikan tangannya di depan wajahku.

"Jangan begitu, aku memang tak bisa melihat!" seruku dengan senyuman. "kau tahu kalau aku...!" tanyanya, "aku bisa merasakan gerakan tanganmu di depanku!"
"Maaf!"
"Kenapa harus minta maaf?"

Ku rasa dia sedang tersenyum padaku, "kau tak bisa melihat tapi bagaimana kau tahu aku memainkan Vivaldi?" tanyanya, aku tersenyum lagi padanya. "Beethoven mengalami ketulian, tapi dia tetap bisa berkarya, bisa menciptakan nada-nada yang indah. Lalu kenapa harus heran padaku?"
"Kau benar!"

"Aku tidak percaya kalau kau hanya seorang seniman jalanan, kau pasti seorang Violis terkenal hanya saja kau sedang merendah!"
"Terserah kau mau bilang apa. Ngomong-ngomong.....kau tak bisa melihat sejak kapan?"
"Sejak lahir, aku lahir prematur. Kada dokter ada cairan yang masuk ke dalam kornea mataku sehingga membuatnya terinfeksi, akibatnya aku jadi buta permanen!"

"Memangnya tidak bisa di operasi?"
"Katanya aku bisa melihat jika ada donor mata yang cocok untukku, hanya saja....aku tidak mau mata siapapun. Aku tetap menganggap apa yang terjadi padaku adalah karunia Tuhan, aku bisa melihat dunia dari hatiku, dari apa yang ku dengar, apa yang aku rasakan. Oya, meskipun kau seorang seniman jalanan kau tetap punya nama kan. Kenalkan, aku Violet!" kataku menjulurkan tanganku, ku harap dia menyambutnya.

Dan benar, dia menyambut tanganku. "Art!" sahutnya, tangannya hangat sekali. Tak pernah ku rasakan tangan sehangat itu dari semua orang yang pernah berjabat tangan denganku. "Art, itu namamu atau hanya panggilanmu?" godaku.

"Arthur, itu namaku. Tapi beberapa orang memanggilku Art,"
"Itu menarik sekali, dari caramu berbicara kau bukan orang Indonesia?"
"Aku orang dunia, dimanapun aku berada di situlah asalku!"
"Itu aneh!"

Pertemuan kami tak cukup sampai di hari itu saja, hampir setiap senja kami menghabiskan waktu bersama. Bercerita dan bermain musik, dia bermain biola dan aku yang menikmati. Kami menjadi sangat akrab, dia banyak bercerita tentang hidupnya.

Bagaimana dia bisa dinamai Arthur oleh seorang musisi jalanan yang menemukannya di tumpukan barang bekas di kota Wina, dia tumbuh berpindah-pindah tempat bersama ayah angkatnya. Bakatnya bermain biola sudah nampak saat usianya 4 tahun, ia mendapatkan sebuah biola bekas dari hasil mengamen dari satu tempat ke tempat lain. Sejak saat itu ia semakin mahir memainkan alat itu, sebagai seorang gipsi yang tak pernah menetap di satu tempat ia mengenal banyak bahasa. Memang di akui oleh kelompoknya dia anak yang sangat pintar dan berbakat. Mungkin sebenarnya dia seorang bangsawan atau berasa dari keluarga musisi hebat yang kebetulan terbuang atau hilang. Tak ada satupun barang yang di tinggalkan bersamanya sebagai identitasnya. Itu sebabnya sampai sekarang ia pun tak tahu siapa dirinya sebenarnya, yang ia tahu ia adalah seorang gipsi yang menyambung hidup melalui musik. Setelah ayah angkatnya meninggal, ia memutuskan untuk memisahkan diri dari kelompoknya dan mencoba keliling dunia dengan caranya sendiri. Kebanyakan secara ilegal karena ia tak punya identitas pasti.

Dalam perjalanannya, ia sudah bermukim di banyak belahan dunia hingga sampai di negara ini. Katanya ini sudah ke empat kalinya ia ke Indonesia, ia cukup jatuh cinta pada negara ini hingga mempelajari bahasanya dengan lebih dalam. Ia tak pernah ingin tahu siapa dirinya, siapa orangtuanya. Itu sudah tidak penting baginya, ia hanya ingin hidup dengan musiknya, dengan karyanya. Ada beberapa simfoni yang ia ciptakan sendiri. Dia memainkannya untukku, dan itu sangat indah. Perlahan benih-benih cintapun muncul di hati kami.

Semakin banyak detik yang kami lalui bersama, semakin besar kobaran api yang tersulut di sanubari kami. Sayangnya orangtuaku mengetahui hal itu dan tak menyetujui hubungan kami. Tentu saja, selain Art adalah seorang imigran gelap dia juga hanya seorang musisi jalanan yang tak memiliki masa depan yang pasti. Tentu tidak akan bisa membuatku bahagia, tapi kebahagiaanku bukanlah ku lihat dari siapa dia dan darimana dia berasal. Tapi dia bisa mencintaiku apa adanya, bukan karena aku gadis buta dari keluarga kaya yang bisa di manfaatkan. Hampir semua pria yang melamarku sebelumnya hanya memiliki niat buruk, kalau bukan demi bisnis keluarga mereka agar bisa di sokong oleh ayahku tentu hanya untuk bisa menjadi bagian dari keluargaku. Orang tuaku memang seorang pengusaha sukses bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia. Aku memiliki seorang kaka laki-laki, dia sangat menyayangiku begitupun orangtuaku. Bahkan mereka sampai over protektif padaku, tapi aku tak suka di perlakukan seperti itu karena aku juga bisa mandiri meski aku tak bisa melihat setidaknya aku masih bisa melakukan semuanya sendiri.

Kakakku memergoki kami sedang bermain bersama di pantai, berjalan bergandengan tangan. Akibatnya Art harus babak belur di hajar oleh kak Valent, dan dia sama sekali tak melawan. Bukan karena takut atau tak mampu, tapi ia memang tak mau menyakitiku dengan menghajar kakakku. Sejak saat itu aku tak di perbolehkan lagi pergi ke pantai sendirian, harus ada bodyguard yang bersamaku. Dan jika Art terlihat maka mereka akan langsung menghajarnya.

Akhirnya demi memisahkan kami, orangtuaku menjodohkanku dengan anak rekan bisnisnya. Tak peduli kami saling mencintai atau tidak.

*****

Sebulan sebelum pernikahanku, aku menyelinap keluar di bantu oleh Ela, anak pembantuku yang juga adalah temanku sendiri. Dia menjadi perantara pesan yang aku titipkan pada Art. Kami bertemu di tempat pertama kali kami bertemu.

"Maaf, aku tak bisa menentang keputusan ini. Tapi aku tidak bisa hidup dengan pria yang tidak aku cintai. Art, maukah kau membawaku pergi. Pergi jauh dari sini, kemanapun!"

Tak ku dengar sahutan darinya. "Aku mohon, bawa aku pergi dari sini!" tangisku. Ku rasakan tangannya yang hangat membelai wajahku dan menyekopnya. "maaf, aku tidak bisa lakukan itu!"
"Kenapa?"
"Orangtuamu benar, aku tak punya masa depan untukmu. Seharusnya kita tidak bertemu, seharusnya aku tak membiarkanmu terjebak dalam hal seperti ini!"
"Pertemuan kita adalah takdir, Tuhan yang mempertemukan kita, Tuhan yang menumbuhkan cinta di antara kita. Dan tidak ada yang salah dengan itu kan!"
"Tidak, tidak seperti itu. Maafkan aku, aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Apa yang pernah kita alami itu bukanlah cinta, itu hanya kegilaan seaat!"
"Tidak!" kataku melepaskan diri darinya, "aku tahu kau juga mencintaiku, kenapa kau ingin menyangkalnya? Kau takut?"

"Ya, aku takut!" sahutnya, Aku terperanjat. "aku takut tak bisa membuatmu bahagia, karena aku tak bisa memberi apa-apa!"
"Kau bisa memberiku cinta!"
"Violet, jangan memaksakan diri. Kita tidak di takdirkan untuk bersatu, kau harus bisa terima itu. Lagipula....aku akan pergi jauh, jauh dari sini!"
"Tidak!" tangisku.

Dia tak mengatakan apapun, ku rasakan dia berjalan menjauh. Aku mencoba berlari dan mengejarnya tapi aku terjatuh dan hanya bisa menangis memanggil namanya.

Aku tak pernah mendengar alunan biolanya lagi, suara yang merdu saat tertawa bersama. Tapi aku masih bisa mendengar tawa kami, alunan biolanya yang masih ku ingat di memoriku. Aku menikah dengan pria pilihan orangtuaku, aku tidak tahu suamiku mencintaiku atau tidak tapi dia bisa memperlakukanku dengan baik. Beberapa bulan setelah kami menikah, aku positif hamil. Tidak mungkin nantinya kau akan menjadi ibu yang buta, tak bisa merawat anakku sendiri. Maka aku bersedia ketika suamiku berniat mencari donor mata untukku, dan kami menemukannya.

*****

Operasi berjalan lancar, aku tak pernah tahu siapa pendonor mata yang baik hati itu. Apakah mata yang di pasang di dalam kepalaku itu mata orang yang sudah maninggal atau masih hidup. Tak ada yang mau memberitahuku, dan orang itupun juga tak ingin di ketahui. Saat perlahan perban di mataku di buka, aku mulai berdebar. Ku buka mata perlahan, ada cahaya yang memasuki korneaku. Dunia begitu terang, aku bisa melihat dengan jelas semua orang yang ada di sekitarku. Hanya satu yang ingin sekali aku lihat tapi tak bisa ku lihat. Art, aku ingin bisa melihat seperti apa dia.

Saat aku berkaca, ada sesuatu yang aneh saat ku tatap wajahku sendiri di dalam cermin. Ku rasakan wajah itu tidak asing, aku seperti pernah melihatnya sebelumnya. Dan bayangan wajah Art juga muncul di pelupuk mataku, itu artinya orang yang mendonorkan matanya padaku adalah orang yang pernah bertemu denganku juga pernah bertemu dengan Arthur. Aku mulai curiga, mungkin memang dia yang mendonorkan matanya untukku, tapi dia bilang saat itu dia akan pergi jauh.

Aku mencoba membuat sketsa wajahnya di kertas, seingat ingatan di mataku. Lalu ku bawa sketsa itu kepada dokter yang mengoperasiku. Aku memaksanya, meski dokter sudah bersumpah tidak akan membika jati diri orang itu. Aku terus memaksanya dan mengancam akan mengambil mata ini kembali dari diriku jika dokter tak mau memberitahuku. Dan kenyataan yang aku dengar memang cukup menyakitkan. Airmataku mengalir deras, dia meninggalkan aku. Membiarkan oranglain memilikiku, tapi dia memberikan penglihatannya padaku. Mata yang selama ini ia gunakan untuk melihat keindahan di seluruh belahan dunia, kini bersarang di kepalaku. Sebelumnya aku tak pernah melihat dunia manapun tai sekarang, tanpa pergi kemanapun aku bisa mengingat semua belahan dunia yang pernah Art jelajahi dengan matanya. Dengan mata yang sekarang menjadi milikku.

*****

Bertahun telah berlalu, aku memiliki dua anak lelaki dari suamiku. Suami yang ternyata juga bisa memberiku cinta yang tulus meskipun aku tak bisa melihat sebenarnya. Bukan karena sekarang aku bisa melihat, tapi aku masih tak bisa menyingkirkan cinta yang terpendam untuk orang lain. Apakah ini adil? Jika ingin tahu, kedua putraku tak mirip suamiku meski mereka anak kandung suamiku. Mereka lebih mirip pria yang sketsa wajahnya aku simpan di laci. Yang wajah aslinya hanya bisa aku kenali di dalam hatiku saja. Aku hanya bisa meminta maaf di dalam hatiku pada suamiku, aku memang mulai mencintainya tapi cinta lain, cinta yang tidak sama yang pernah aku rasakan dulu.

Terkadang saat senja merebak, bisa kulihat bayangannya di tepi pantai. Dengan alunan merdu biola yang ia mainkan. Aku masih sering mendatangi tempat pertemuan kami, tapi tidak sendiri. Anak-anakku, bersamaku. Terkadang suamiku menemaniku, ia tahu apa yang aku rasakan. Dan aku tahu itu melukainya, meski ia pura-pura tak terluka.

**********

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun