Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Titan: Sebelah Tangan

13 April 2021   22:19 Diperbarui: 14 April 2021   09:10 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://www.popular-world.com/

Saya pernah jatuh cinta (meski tidak sampai sampai sejatuh-jatuhnya) kepada seorang perempuan. Dan sekali pun saya tidak pernah lupa, dia masih 18 tahun waktu pertama kali kami bertemu. Saya 20. Kami tidak jatuh cinta pada pandangan pertama. Saya jatuh cinta pada kebaikan hati dan sikap pantang menyerahnya. Dia, saya tahu, jatuh cinta pada cara saya mencintainya. Saya tahu, tidak semua hal tentang saya bisa dia suka. Tapi entah kenapa, dia bisa memaklumi hal-hal dalam diri saya yang tidak dia suka itu.

Kami pacaran setelah tiga bulan saling kenal. Semakin mengenalnya, saya mulai tahu bahwa dia punya banyak ketakutan dalam dirinya. Saya mulai bisa melihat bahwa dia, perempuan yang saya cintai, entah mengapa justru kesulitan mencintai dirinya sendiri. Saya juga mulai mengerti bahwa dia, perempuan yang sering dipuji banyak orang, entah mengapa justru tidak pernah berhenti merasa kurang dan mengkritik dirinya sendiri.

Pelan-pelan saya mulai takut dengan perhatian yang dia berikan. Dia, saya rasa, mulai terlalu banyak memberi. Bahkan, kelihatan sekali dia mulai menggantungkan kebahagiannya kepada saya. Dia mulai mencintai saya lebih dari dia mencintai dirinya sendiri. Dia mulai banyak menuntut, termasuk berharap agar saya bisa memahami isi kepalanya yang tidak banyak dia ungkapkan.

"Kamu berubah, Mas," katanya suatu waktu, ketika saya menolak membantunya sebab sedang banyak urusan lain.

"Kamu bukan satu-satunya orang yang harus aku urus. Masih banyak urusan lain yang mesti aku selesaikan," saya jawab begitu. Dan kalimat itu menjadi awal pertengkaran pertama kami setelah delapan bulan pacaran. Dia diam, menunduk. "Dan kamu tahu? Setiap hari, semua orang berubah. Kamu juga harus berubah," saya masih melanjutkan, melepas amarah. Dia makin menunduk dalam-dalam.

Dia tidak banyak bicara setelah pertengkaran itu. Dia yang sebelumnya rajin mengirimkan pesan teks dan membanjiri aplikasi chatting saya dengan curhatannya sejak saat itu mulai lebih banyak diam. Sebulan kemudian, kami putus. Dia yang memutuskan saya. Tapi saya tahu, sayalah yang diam-diam memaksanya meminta putus. Saya yang sengaja mengubah banyak sikap saya terhadapnya.

Malam setelah dia memutuskan hubungan kami, saya menghubungi teman-temannya, meminta kesediaan mereka untuk menemaninya. Dari selentingan kabar yang saya dengar, sampai sebulan setelah putus, dia jadi makin pendiam dan makin penyendiri. Kami masih kuliah di tempat yang sama. Sekali dua kali saya tak sengaja melihatnya. Dan saya rasa, dia sengaja menghindar dari saya. Berbulan-bulan setelahnya, saya tak pernah melihatnya lagi. Saya pun sengaja sibuk dengan dunia saya sendiri. Sampai hari ketika saya lulus kuliah, saya benar-benar tidak pernah melihatnya lagi. Saya cuma sesekali dengar kabar, konon dia punya mimpi baru yang tengah dikejar.

...

"Oh, cerita soal mantan?" Maye mengagetkan, sudah kembali dari kamar kecil, dan rupanya sempat sebentar mengintip tulisan saya dari belakang.

"Iseng saja kamu!"

"Cuma penasaran. Silakan dilanjutkan, Bapak," katanya sambil sekarang sibuk membuka buku sketsanya. Dia mulai menggambar sesuatu di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun