Percaya enggak, Bi? Aku masih ingat semua detail waktu kamu melamarku. Agustus, sembilan bulan lalu. Kamu datang ke toko bungaku untuk meminjam kunci rumahku waktu aku masih sibuk dengan semua pesanan bunga.
Kamu bilang, ada berkas kerjamu yang tertinggal di rumahku. Kamu bahkan masih sempat bergurau dengan menarik kuncir rambutku. Aku cuma memelotimu, lalu menguncir kembali rambut panjang-sebahuku yang jadi terurai gara-gara kamu. Kamu tertawa, segera keluar dari toko bunga.
Sumpah, Bi, aku tidak pernah berpikir kalau kamu masih ada di rumahku sepulang aku dari toko. Sebelumnya, aku bahkan berniat pulang ke rumah Mama karena biasanya kamu akan jahil menyembunyikan kunci rumahku entah di mana; kamu baru akan memberi tahuku sambil tertawa-tawa kalau aku sudah marah-marah di telepon.
Dan malam itu, aku merasa sudah terlalu lelah buat menanggapi kejahilanmu. Jadi aku benar-benar tidak menyangka kalau malam itu kamu akan menyambutku pulang dengan senyum kikuk sambil berdiri memegang buket bunga matahari besar di ruang tengah.
"Can I be yours?" kamu mengawali lamaranmu dengan satu kalimat itu.
"Kamu lagi sakit ya, Bi?" kutanya begitu. Kamu masih berdiri dengan senyum canggungmu. Aku berjalan ke arahmu. Sampai kulihat jelas kamu dengan rambut setengah keritingmu. Kamu dengan perawakan tinggi tegapmu. Kamu dengan kaos biru dan celana jin abu-abu andalanmu. Kamu dengan wajah tampanmu yang malam itu terasa seperti kehabisan kata. Kamu dengan dua mata bulatmu yang setiap kali menatapku, selalu bisa membuatku merasa berharga.
Kupikir kamu sedang tidur sambil berjalan atau entah sedang sakit apa. Astaga, Bi. Kamu melamarku tiba-tiba. Padahal kita sudah berteman sejak tujuh tahun sebelumnya. Kita mana pernah pacaran? Kamu mana pernah bilang cinta kepadaku?
...
"Kak, pot ini perlu ditaruh di mana?" Kiki, salah satu perangkai bunga di tokoku bertanya sambil menunjuk beberapa pot dengan bunga warna-warni yang baru datang pagi tadi. Memutus lamunanku tentang kamu.
"Di atas saja, Ki. Di tempat biasa, ya."
"Masih dipanggil Kakak? Enggak pantas, tahu! Kamu kan sudah tua. Panggil Tante saja, Ki!"