Kamu nyengir lagi. Kali ini ditambah dengan iseng mengacak rambutku. Di sela candamu, kudengar ada yang memencet bel rumah kita. Kamu meletakkan peralatan tanam, bergegas ke depan, membuka pintu. Aku segera mengekor di belakangmu.
Ah, rupanya ibumu yang berkunjung. Kamu pasti bahagia.
"Kok enggak bilang-bilang kalau mau datang?" kamu bertanya kepada perempuan berusia 60-an yang berdiri di depanmu, segera setelah melihatnya berdiri di depan pintu. Kamu mencium tangannya, memeluknya kemudian.
"Mama ke sini sama siapa?" aku bertanya, ikut mencium tangannya. Sebelum aku memeluknya, ibumu sudah memelukku. Percaya, Nan? Aku berani bertaruh, dibandingkan peluknya untukmu, peluknya untukku terasa lebih erat, lebih hangat. Tapi tentu saja, aku sudah mengenal ibumu sebelum aku mengenalmu. Aku sudah mencintainya sebelum aku mencintaimu. Aku sudah dianggapnya seperti anaknya sebelum aku jadi istrimu. Aku sempat putus dengan kamu, tapi aku tidak pernah putus dengan ibumu. Hubungan kita sempat tidak baik-baik saja, tapi hubungan kami selalu baik-baik saja.
...
"Mama kok enggak bilang kalau mau ke sini? Kan kami bisa jemput," aku mengobrol dengan ibumu di ruang tengah. Kamu kembali ke taman, berkebun. Mungkin kamu mulai paham kalau Mama selalu ingin punya waktu untuk bicara berdua denganku. Tidak untuk membicarakan hal-hal serius. Topik pembicaraan kami malah lebih sering tentang kamu.
"Mama juga bisa ke sini sendiri, Za. O iya, acara amal minggu lalu bagaimana? Lancar?"
"Lancar, Ma. Minggu depan Aza juga ada acara lagi,"
"Di mana?"
"India, Ma,"
Mama menatapku, lembut.