[caption id="attachment_254704" align="aligncenter" width="500" caption="Telaga Warna (dok Dieng Plateau Theater)"][/caption]
Melegakan, akhirnya sampai juga di kawasan Dieng Plateau (Dataran Tinggi Dieng). Waktu menunjukkan pukul 07.30. Hanya satu setengah jam perjalanan dari Temanggung. Itu karena potong kompas, melalui Parakan, Jumprit, Sigedang, Perkebunan Teh Tambi dan sampai di pertigaan jalan utama Wonosobo-Dieng. Lalu mengikuti jalan mulus menanjak, meliuk-liuk melewati Tieng dan tiba di pertigaan Dieng, Kejajar. Sepanjang jalan sangat menyenangkan. Pemandangan indah. Kontur tanahnya berbukit-bukit. Kanan kiri berupa hamparan sawah ladang beteras sering. Sangat mempesona. Bahkan, suatu ketika saat berada di jalan berkelok di sebuah perbukitan, dapat dilihat desa-desa di bawah sana berselimut awan. Hmmm... benar kata orang. Ini negeri di atas awan! [caption id="attachment_254721" align="aligncenter" width="500" caption="Selamat Datang di Negeri Kahyangan (dok pribadi)"]
[/caption]
[caption id="attachment_254705" align="aligncenter" width="500" caption="Pertanian Dieng (dok pribadi)"]
[/caption]
Secara administratif, Dataran Tinggi Dieng masuk Kabupaten Banjarnegara (Dieng Kulon, Kecamatan Batur ) dan Kabupaten Wonosobo (Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar). Awal tiba di pertigaan Kejajar, kami lihat ada papan petunjuk. Ke Kiri menuju Telaga Warna. Ke Kanan, menuju Kompleks Candi Arjuna. Kami ambil arah kanan. Tiba di halaman parkir Kompleks Candi Arjuna. Hawa dingin menyergap saat bersentuhan langsung dengan udara Dieng. Maklum ada di dataran dengan ketinggian rata-rata 2000 meter di atas permukaan laut. Suhu normal Dieng berkisar 15-20 derajat celcius. Malam hari bisa 10 derajat celcius. Saat cuaca ekstrim di Bulan Juli- Agustus, konon suhunya bisa mencapai titik terendah. Nol derajat celcius! Akan terbentuk bulir-bulir es di Dataran Tinggi Dieng. Ini disebut embun beku atau masyarakat Dieng menyebutnya Bun Upas. Upas (racun). Embun racun, perusak tanaman sayuran. Tak lama, petugas datang tergopoh-gopoh menyodorkan tiketnya. Tertera Ro.4000 per kepala. Karena masih pagi, suasana Kompleks Candi Arjuna masih lengang. Hanya dua mobil parkir disana. Tampak pula berderet Motor Touring. Sempat berbincang dengan seorang anak muda yang membersihkan motornya. Teryata rombongan Touring dari Purbalingga yang datang tadi malam. Lainnya, mungkin masih terlelap kelelahan. Karena kami belum sarapan, mampir dulu di deretan kios. Pilihannya Kentang Goreng Khas Dieng dengan taburan saos rasa gurih dan pedas. [caption id="attachment_254706" align="aligncenter" width="500" caption="Kentang Goreng Sambel Pedas (dok pribadi)"]
[/caption]
Candi Berumur Seribu Tahun Di Kompleks Candi Arjuna terdapat 5 candi. Ada Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, candi Puntadewa dan Candi Sembadra. Dari fisiknya. yang cenderung tambun, candi-candi ini menunjukkan ciri khas candi Jawa Tengah. Beda dengan candi gaya Jawa Timuran yang ramping dan tinggi menjulang. Bahan candi dibuat dari batu andesit. [caption id="attachment_254707" align="aligncenter" width="500" caption="Kompleks Candi Arjuna, Dieng (dok pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_254708" align="aligncenter" width="500" caption="Candi Semar dan Candi Arjuna (dok pribadi)"]
[/caption]
Candi Arjuna menghadap ke Barat. Berdenah bujur sangkar. Ada tangga naik menuju pintu utama. Di atas pintu masuk tedapat pahatan Kepala Kala. Di dinding tubuh candi tedapat tiga relung yang sudah tidak berarca. Di atas relung dinding candi juga terdapat hiasan Kepala Kala. Atapnya bersusun tiga. Tidak seperti biasanya, yang hanya berupa tumpukan batu bermotif, atap Candi Arjuna khas. Atapnya berwujud replika candi. Makin ke atas makin mengecil replikanya. Unik sekali atap candi ini. Di depan Candi Arjuna terdapat Candi Semar. Candi ini berdenah segi empat. Tambun. Uniknya, atap candinya tidak betingkat-tingkat, seperti candi lainnya. Ini hanya satu tingkat saja. Berbentuk melengkung. Mungkin difungsikan sebagai Candi Perwara (candi pengiring). Pintu menghadap ke Timur Berhadapan dengan pintu Candi Arjuna. Dilihat dari arsitektur dan ciri-cirinya, serta prasasti yang pernah ditemukan, Kompleks Candi Arjuna termasuk Candi Siwa. Diduga peninggalan abad VIII-IX M. Bisa jadi ini termasuk candi tertua di pulau Jawa, karena umurnya lebih dari seribu tahun. [caption id="attachment_254709" align="aligncenter" width="300" caption="candi Arjuna, Atapnya berupa replika candi (dok pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_254712" align="aligncenter" width="500" caption="Candi Arjuna, Srikandi, Puntadewa dan Sembadra (dok pribadi)"]
[/caption]
Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra terletak di deretan sebelah kiri Candi Arjuna. Mengapa kok Candi Puntadewa ada diantara Srikandi dan Sembadra? Mungkin yang menamakan candi ingat, bahwa dua wanita itu adalah istri kesayangan Arjuna. Keduanya harus dipisahkan oleh Puntadewa yang berhati lembut dan sabar, dengan berdiri di tengah-tengah Jangan sampai kedua istri itu gontok-gontokan memperebutkan Arjuna, he he he. Pagi yang mendung pun kami habiskan untuk menelusuri Kompleks Candi Arjuna. Hawa dingin terus menyergap tapi masih bersahabat. Maklum, kami juga orang gunung. Pemandangan hijau di sekeliling memikat. Cemara berjajar rapi membuat asri. Nun dikejauhan, nampak asap dari perut bumi mengeliat dan membubung memanggil-manggil. Di sudut lain, nampak hamparan bukit dan gunung mengitari kawasan Dieng. Begitu menggoda. Bagi pecinta fotografi, mengekplorasi Dieng seperti menikmati Sorga! Setelah menelisik satu persatu candi yang basah, karena semalam mungkin hujan, kami pun segera berb
alik arah. Kembali ke deretan kios sederhana di halaman parkir. Nampaknya, hawa dingin yang selalu merangsang untuk buang kecil juga membuat perut makin keroncongan. Berontak karena pagi-pagi hanya diisi beberapa iris kentang goreng. Akhirnya, sepiring besar nasi goreng hangat pun jadi santapan. Lenyap tanpa sisa. Tak lupa Teh panas bisa menghangatkan tubuh. Sebenarnya ada minuman Purwaceng. Minuman Khas Dieng. Bisa buat tubuh lebih hangat. Kami tak berminta mencobanya. Menilik namanya saja sudah bergidik. Ceng! Hi hi hi.. [caption id="attachment_254713" align="aligncenter" width="500" caption="Kios Makanan Khas Dieng... coba saja (dok pribadi)"]
[/caption]
Berdasarkan informasi petugas penjaga kamar mandi nan ramah, kami lanjutkan menjelajah Dieng yang makin mempesona. Mumpung masih pagi, kami segera beranjak. kembali ke jalur awal menuju di pertigaan Kejajar, Lurus menuju Kawasan Telaga Warna. Di tengah jalan ada petugas menghentikan laju kendaraan. Ditarik tiket masuk lagi. Sempat berdebat. Ooo.. ternyata mestinya tadi ke sini dulu. Agar dapat Tiket Terusan untuk mengujungi: Telaga Warna, Dieng Plateau Theater, Kawah Sikidang dan Candi Arjuna yang satu jalur memutar. Untung petugas baik hati. Hanya bayar total 15 ribu. Mestinya 12 ribu rupiah per orang. Tapi ..kok diberi tiket Wisatawan Asing.... wkwkwk, cuma selembar pula.. Gak papa. masih pagi he he he. Tiba di kawasan Telaga Warna, tinggal
Say Hello dengan petugas. Kami masuk tanpa ada pemeriksaan tiket. Mengikuti jalan berpaving memanjang menuju sebuah ujung pertigaan. Nampak di depan, terhampar luasnya telaga berwarna kehijauan.
Inilah Telaga Warna. Konon telaga ini warnanya bisa berubah-ubah. Kadang Hijau Muda, Hijau Tua dan Biru bahkan Putih. Tapi pagi itu, hanya warna hijau tua dan muda saling mengisi. [caption id="attachment_254714" align="aligncenter" width="500" caption="Telaga warna, Flyng Fox di atasnya (dok pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_254715" align="aligncenter" width="500" caption="Ekstisnya Telaga Warna (dok pribadi)"]
[/caption]
Kaki terus melangkah menyusuri jalan setapak berpaving. Dibatasi danau di kiri dan bukit hijau di kanan. Di ujung ada belokan ke kiri. Paving berhenti sampai di sini. Yang ada kemudian adalah jalan tanah yang dinaungi pohon-pohon nan teduh. Di ujung ketemu sebuah telaga yang ditengahnya dibatasi rerumputan. Hmm... ini Telaga Pengilon. Ngilo (bahasa jawa) artinya bercermin. Maksudnya air telaganya bisa berfungsi seperti cermin. [caption id="attachment_254716" align="aligncenter" width="500" caption="Telag Pengilon (dok pribadi)"]
[/caption]
Memutari ”pulau” kecil ini juga mengasyikkan. Anda akan menjumpai beberapa Goa. Tepatnya mungkin Liang. Ada beberapa Goa yang konon digunakan untuk ritual bagi yang mempercayainya. Tercatat nama Goa Semar, Goa Sumur, Goa Jaran, Goa Pengantin, dan Watu Tulis. Beberapa Goa, di mulut Goanya dipagari dengan pintu besi. Di depan goa dibangun cungkup (gazebo kecil). Untuk mempercantik, beberapa arca buatan diletakkan di depan mulut Goa. Hanya Goa Pengantin yang tidak berpagar. Sehingga kita bisa melihat ”dalamnya” yang ternyata sangat sempit sekali. [caption id="attachment_254717" align="aligncenter" width="500" caption="Gajah Mada Emas dan Watu Tulis"]
[/caption] [caption id="attachment_254718" align="aligncenter" width="500" caption="Telaga Kembar dari Puncak Bukit (dok pribadi)"]
[/caption]
Eh iya.......Ada cara unik menikmati ekstisnya pemandangan Telaga Kembar (Telaga Warna dan Telaga Pengilon) yang berdampingan ini. Naik saja di lereng bukit di sebelah utara Dieng Plateau Theater. Dari ketinggian di Bukit ini, akan nampak keelokan Telaga Kembar. Nampak di bawah sana, warna hijau Telaga Warna dipisahkan oleh rerumputan dengan warna coklat hitam Telaga Pengilon. Di kejauhan nampak keindahan Gunung Prau dan Pakuwaja berdiri gagah membentengi keduanya.
Sungguh, Dieng Adalah Negeri Kahyangan yang akan selalu terkenang!
Artikel selanjutnya : Mengintip Eksotisnya Kawah Dieng
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Travel Story Selengkapnya