Mohon tunggu...
Julian Haganah Howay
Julian Haganah Howay Mohon Tunggu... Freelancer - Journalist and Freelance Writer

Journalist, freelance writer and backpacker. "Menulis untuk pencerahan, pencerdasan dan perubahan.."

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Memori Arfak Festival Yang Pertama

8 Februari 2016   22:30 Diperbarui: 9 Februari 2016   14:38 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepingan kisah perjalanan menembus gunung dan kabut demi Festival Arfak di Anggi, ibukota Pegunungan Arfak. Suatu wilayah nan eksostis, kaya akan keanekaragaman hayati dan keunikan budaya.

PERJALANAN saya kali ini boleh jadi suatu perjalanan spiritual. Saya melewatkan perenungan panjang selama satu jam lebih penerbangan dari Bandara Sentani menuju Bandara Rendani Manokwari, Papua Barat. Beberapa saat selepas pesawat lepas landas dan mengangkasa, permukaan daratan Pulau Papua yang tertutup hutan tropis seketika berubah laksana permadani hijau yang menghampar luas.

Saya duduk termenung di kursi nomor 15 A sisi lorong pesawat. Membayangkan alam Papua nan begitu indah, namun jauh di bawah sana. Saya teringat Danau Sentani dan Pegunungan Cycloop yang menjulang seperti raksasa di dataran wilayah Jayapura yang baru saya tinggalkan.

Saya ingat air terjunnya yang berbuih putih dan sungai-sungai yang bermata air di hutan Cycloop lalu berkumpul membentuk Danau Sentani hingga bermuara ke muara Sungai Tami di sebelah timur Kota Jayapura. Saya juga ingat sungai Mamberamo dengan pola aliran sungai yang berkelok-kelok seperti ular.

Setelah menempuh penerbangan selama satu jam, pilot dan copilot pesawat Boeing 737 Seri 300 milik maskapai penerbangan Sriwijaya Air lalu menurunkan ketinggian jelajah. Awak kabin kemudian memberi informasi agar setiap penumpang wajib mengenakan sabuk pengaman, menegakan sandaran kursi dan tetap duduk di tempat karena beberapa saat lagi pesawat akan mendarat. Saya lega mendengarnya.

Hari itu Kamis 12 November 2015.  Pesawat yang saya tumpangi ini membawa puluhan penumpang sewaktu lepas landas dari Bandara Sentani Jayapura menuju Bandara Rendani Manokwari. Lima belas menit sebelum pesawat mendarat, saya merasa penasaran untuk menoleh ke sisi kanan kiri luar kaca jendela pesawat. Mencoba menangkap pemandangan memukau yang tersuguhkan jauh di bawah badan pesawat.

Di sisi kiri terlihat untaian Pegunungan Arfak dengan puncak-puncak menjulang yang tertutup awan putih. Gunung ini yang akan saya jejaki setelah tiba. Di sisi kanan pun pemandangan tak kalah menarik. Terpampang Teluk Doreri yang di atasnya berlabuh kokoh Pulau Mansinam dan Pulau Lemon. Dua pulau berbentuk oval yang masih tertutup pepohonan dan berpenghuni ini memiliki nilai historis bagi masyarakat Papua.

Khusus Mansinam, pulau ini terkenal karena menjadi situs masuknya dua Misionaris Protestan pertama asal Jerman: Carl Willian Ottow dan Johan Gotlieb Geissler pada 5 Februari 1855 dalam misi ke Tanah Papua. Latar historis pulau inilah yang kemudian melekatkan Kota Manokwari sebagai Kota Injil. Tidak hanya itu, Manokwari pun dikenal sebagai tempat awal dimulainya peradaban modern bagi orang Papua melalui jejak-jejak awal para misionaris Protestan Eropa.

Sekilas dari angkasa, Pulau Mansinam dan Pulau Lemon berlatar laut biru Teluk Doreri yang berkilauan terkena semburan sinar matahari. Beberapa kapal dan perahu nelayan mengapung di atas teluk ini. Lima belas menit pun berlalu. Roda pesawat akhirnya mendarat dengan mulus menyentuh landasan pacu (run way) bandara Rendani Manokwari setelah melayang di angkasa selama satu jam tiga puluh menit. Saya menghela nafas panjang. Bersyukur karena satu lagi misteri kehidupan telah saya lalui dengan selamat.

Pesawat kemudian berputar perlahan lalu berhenti di landasan tempat perhentian. Setelah turun dari tangga pesawat, saya buru-buru meminta seorang penumpang wanita memegang camera dan memotret saya yang berdiri dengan wajah sumringah dilatari pesawat Sriwijaya Air. “Terima kasih, ini sekedar dokumentasi perjalanan,” kata saya kepada wanita itu sehabis memotret dan mengembalikan camera saya.

Menginjakan kaki di bandara Rendani kali ini merupakan pengalaman kedua setelah dua belas tahun saya merantau dari Manokwari dan menetap di Jayapura. Kali pertama tahun 2009 dalam penerbangan transit dari Jayapura menggunakan pesawat Express Air. Waktu itu saya mencoba mengadu nasib ke Jakarta mengikuti seleksi diplomat di Kemenlu RI. Tapi gagal karena mungkin bukan takdir. Kali ini saya menginjakan kaki kembali di bandara yang sama dengan status sebagai wartawan fotografer sekaligus ‘backpacker’ lokal.

Sengatan terik matahari terasa membakar kulit ketika kami para penumpang berjalan menuju terminal kedatangan. Saya meraih hand phone Samsung di saku celana. Waktu menunjukan pukul 11.30 siang. Seketika saya sadar kalau saya sudah terlambat. Event yang saya tuju: ‘Arfak Festival Ke I’ sudah dibuka Gubernur Papua Barat, Abraham Oktovianus Atururi di Anggi, ibukota Kabupaten Pegunungan Arfak. Event pariwisata berbasis budaya dan wisata alam itu dijadwalkan berlangsung 12-15 November 2015.

Ketika mendekati pintu masuk terminal kedatangan, dua tulisan berbeda dalam bahasa Hatam-Arfak: ‘Acem Akwei’ dan ‘Acem Ambut’ yang berarti ‘Selamat Datang’ dan ‘Selamat Jalan’ menyambut kami.  Tulisan itu terpampang dengan jelas. Setelah berada di dalam terminal bandara, hand phone saya beberapa kali berbunyi. Namun tidak sempat terjawab karena terhalang suara keramaian.

Tak lama sebait pesan singkat muncul di hand phone saya. Pesan itu berasal dari seorang teman lama yang sudah menunggu bersama rombongan yang akan segera bertolak menuju Anggi. Isi pesan singkat itu meminta saya segera bergegegas ke rumahnya sebelum terlambat. Saya lalu mempercepat langkah berjalan keluar terminal. Memanggil seorang tukang ojek yang sedang bermalas-malasan menunggu penumpang di depan pintu masuk terminal bandara.

Saya mengarahkan ojek menuju sebuah rumah yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari bandara. Setelah tiba sebuah mobil berwarna hitam sudah terparkir menunggu bersama rombongan yang tidak sabar berangkat. Mobil ini diperintahkan menunggu hingga saya tiba. Dari wajah-wajah mereka yang cemberut, bisa ditebak kalau mereka cukup lama menunggu saya yang akan menumpangi kendaraan mereka.

***

Mobil pick up Hilux Toyota Hitam yang kami tumpangi sesak dipenuhi penumpang dan muatan. Mobil ini mengangkut belasan orang. Di bagian depan duduk dua orang perempuan Papua dewasa bersama sopir pria non Papua. Dua perempuan muda Papua dan seorang bocah ditambah seorang perempuan non Papua yang kepalanya berbalut kerudung duduk di kursi tengah bagian dalam mobil.

Sementara saya direstui duduk berdesak-desakan bersama penumpang lain dan barang bawaan yang ditumpuk di bagian belakang mobil yang terbuka. Di samping saya duduk seorang perempuan non Papua berbadan sedikit kurus. Ia memilih duduk di belakang karena ingin menghirup udara segar selama perjalanan yang akan memakan jarak berkilo-kilo. Perjalanan kami akan melewati medan jalan yang rumit sehingga bisa membuat penumpang mual dan muntah.

Teman saya memberitahu bahwa hampir seluruh penumpang merupakan rekan kerjanya di Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Papua Barat. Mereka akan berpartisipasi mewakili kantornya dalam rangkaian kegiatan Festival Arfak pertama yang di helat di Anggi. Sebelum mobil bertolak, teman saya meminta maaf karena ia tidak bisa ikut bersama kami. Sebab ia harus mempersiapkan diri untuk sebuah kegiatan di Makassar tiga hari kemudian.

Gantinya, istri dan anaknya ikut bersama kami. Dia memberi beberapa botol air aqua dan makanan ringan sebagai bekal saya selama perjalanan. “Nanti ko kembali dari Anggi baru tong ketemu cerita-cerita, soalnya su lama tra ketemu,” kata Frans, begitu nama teman saya dengan dialek Melayu-Papua. “Selamat jalan, hati-hati di perjalanan dan jangan lupa foto pemandangan yang banyak,” sambungnya sambil tersenyum. Saya membalasnya dengan menyampaikan terima kasih.

Perkenalan dengan Frans terjadi di Jayapura tahun 2014. Sewaktu kami mengikuti sebuah program kursus bahasa Inggris yang di dukung Pemerintah Australia dan Pemerintah Provinsi Papua-Papua Barat. Semasa mengikuti program itu selama tiga setengah bulan, saya dan Frans ditentukan tinggal sekamar bersama seorang teman dari Merauke. Dari sinilah kami menjalin keakraban sebagai teman sekaligus saudara. Saya beruntung karena Frans telah menfasilitasi kendaraan untuk saya tumpangi ke Anggi.  

Sopir menghidupkan mesin mobil. Saya sempat melambaikan tangan kepada Frans. Kami bergerak menyusuri jalan mulus beraspal yang lebar di sepanjang jalan baru Rendani-Sowi menuju arah selatan Manokwari. Waktu menunjukan pukul satu siang saat kami meluncur. Saya sangat bersemangat siang itu, begitu juga penumpang lain yang tampak jelas dari wajah mereka.

Perjalanan kami melewati lokasi bangunan baru Kantor Bupati Manokwari yang sudah dua tahun berdiri megah. Pemindahan lokasi kantor baru ini dilakukan seiring pengembangan Kota Manokwari sebagai ibukota Provinsi Papua Barat.  Saya sempat kagum melihat kawasan di sekitar kantor bupati yang  dulunya hanya dipenuhi pepohonan, semak belukar dan ilalang. Namun beberapa tahun berselang kawasan ini sudah ramai dijejali perumahan modern.

Beberapa hotel mewah dan perkantoran sudah selesai dibangun. Kami juga melewati lokasi baru Kantor Gubernur Papua Barat yang berdiri megah di atas sebuah bukit dengan pemandangan indah ke laut. Kawasan yang kami lalui ini di tahun 1990-an merupakan daerah pinggiran yang tak berarti. Namun perlahan bersolek menjadi kawasan kota baru. Disini hutan sudah ditebas. Bukit-bukit digusur. Sungai dan tanah berawa telah ditimbun. Semua demi tuntutan pembangunan.

Saya sempat melontarkan beberapa pertanyaan sebagai rasa ingin tahu kepada seorang pria yang duduk di sisi saya seputar dinamika pembangunan Kota Manokwari. Ia lalu mengolah pertanyaan saya menjadi sederet informasi yang berarti. Mobil kami makin melaju kencang saat berada di luar kota dengan lalu lintas kendaraan yang tidak begitu ramai. Saya mencoba duduk dengan berkonsentrasi penuh. Sebab bila tidak, akan berakibat fatal.

Perjalanan menuju Anggi Pegunungan Arfak bisa dilakukan dengan jalur udara maupun darat. Untuk jalur udara menggunakan pesawat terbang perintis berbadan kecil seperti Pillatus atau Twin Otter dari bandara Rendani setiap dua hingga tiga kali seminggu. Biayanya berkisar 500 sampai 700 ribu per orang, tergantung situasi. Bila terbang dengan pesawat, jarak Rendani-Anggi hanya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari sejam. Itu pun tergantung baik-buruk cuaca. Perjalanan dengan jalur udara maupun darat, masing-masing punya kesan tersendiri.       

Tapi masyarakat lebih memilih perjalanan darat karena murah, meski harus melewati medan rumit dan menantang sejauh ratusan kilo. Kendaraan yang sering melintas ke Anggi umumnya mobil tipe besar seperti ranger, hilux dan strada. Dengan waktu tempuh berkisar 3 sampai 4 jam, tergantung kondisi jalan saat melintas. Jangan coba-coba menggunakan mobil tipe kecil jika tidak mau menanggung resiko. Ongkos sekali perjalanan dari dan ke Anggi sebesar 200 ribu per orang, sudah termasuk barang.       

Ketika kami telah memasuki kawasan pinggiran Kota Manokwari, pemandangan sekeliling nyaris tak banyak berubah. Hanya jalan yang tadinya mulus dan lebar mulai menyempit. Di sepanjang perjalanan terlihat kawasan pepohonan yang membentuk deretan hutan sekunder. Rumah-rumah sederhana milik warga lokal sesekali terlihat. Ada yang mulai reyot karena termakan usia.

Penduduk lokal sesekali muncul bersama anjing berburu mereka di pinggir jalan. Mereka memegang parang, busur dan anak panah. Mungkin hendak pergi berburu atau sehabis berkebun. Kami juga melewati lokasi pabrik semen milik investor Cina yang infrastrukturnya sudah selesai dibangun bersama pelabuhan pengangkut di pantai Maruni. Di sekitar lokasi pabrik ini tampak jelas bukit-bukit kapur terluka oleh penggusuran.         

Ketika mobil kami mulai menanjak di wilayah ketinggian ke arah Warmare, udara pegunungan terasa lebih menyejukan. Hutan primer dan sekunder dengan sejumlah pohon besar tinggi menjulang. Jalan yang kami lalui mulus karena baru selesai dilapisi ketebalannya. Kami kemudian memasuki daerah Warmare setelah melewati jembatan sungai Prafi yang berair deras. Di bawahnya tampak bongkahan batu-batu sungai berukuran raksasa. Sungai ini bermata air di Pegunungan Arfak dan terus mengalir hingga bermuara di pesisir pantai utara Manokwari.

Kami juga melewati areal perkebunan sawit milik PTPN yang dirintis sejak 1980-an. Beberapa saat kemudian mobil kami berbelok memasuki jalan menuju kawasan Pegunungan Arfak. Di sisi pertigaan ada sebuah papan nama bertuliskan “Welcome to Special Interest Tourism Destination Arfak Mountain Area”. Tulisan ini memberi kesan menyenangkan karena terlihat bersama Pegunungan Arfak yang menjulang tinggi dengan puncaknya yang tertutup kabut.       

Saya mencoba mengambil kamera Canon di ransel untuk mengabadikan pemandangan eksotis yang terlihat. Tapi hujan rintik-rintik keburu turun dan membatalkan niat saya. Kami berhenti sejenak untuk memperbaiki muatan dan menudunginya dengan terpal agar tidak basah terkena hujan. Seorang penumpang mengingatkan kami yang duduk di bagian belakang agar berhati-hati. Sebab kami akan melewati medan yang rumit. Setelah itu perjalanan dilanjutkan.

Mobil kami makin menanjak di ketinggian lalu menerobos kawasan dengan kondisi jalan berlumpur. Di sisi kiri kanan yang terlihat hanya pepohonan dengan kondisi hutan yang masih lebat. Kami juga mendengar burung-burung berkicau merdu diantara pepohonan atau terbang melintas di atas kepala. Saya menikmati ritme perjalanan ini dengan antusias. Sebab ini kali pertama saya bakal menginjakan kaki di Anggi, suatu wilayah yang dulunya menjadi bagian wilayah Kabupaten Manokwari.

Dalam perjalanan ini kami sesekali berpapasan dengan mobil lain yang mengangkut penumpang beserta muatan dari Anggi atau kampung-kampung sekitar. “Hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan pasti banyak mobil yang akan naik turun ke Anggi karena ada acara festival dan hari ulang tahun Kabupaten Pegunungan Arfak,” kata seorang penumpang menjelaskan. “Kalau di hari biasa setahu saya, mobil tidak ramai seperti ini,” sambungnya. 

Di perjalanan kami melewati  beberapa kendaraan berat yang bekerja menggusur tanah atau merapikan jalan dan punggung gunung sehabis longsor. Sebab jalan yang kami lalui menerobos celah gunung, lereng, tebing dan lembah yang di bawahnya terbentang jurang puluhan meter yang dialiri sungai berair deras. Kami juga menerobos sungai-sungai kecil yang mengalir membelah jalan.

Hujan deras sempat mengguyur kawasan ini beberapa kali lalu berhenti tiba-tiba. Cuaca di kawasan Pegunungan Arfak yang berketinggian antara 200-2.940 meter diatas permukaan laut (dpl) memang cepat berubah. Pada daerah berketinggian diatas 1000 meter, umumnya bertemperatur udara dingin. Bahkan sangat dingin hingga menusuk tulang di malam hari pada wilayah berketinggian 2000 meter.

Selama perjalanan kami telah melewati rangkaian perkampungan tradisional yang dihuni warga suku Arfak. Pada perkampungan ini masih berdiri sejumlah rumah tradisional Kaki Seribu yang terbuat dari bahan alami seperti; kayu, rotan, kulit kayu dan ilalang. Disebut rumah kaki seribu karena disokong oleh kayu-kayu penopang yang jumlahnya banyak. Karena bentuknya yang unik, rumah tradisional ini punya daya tarik tersendri bagi wisatawan.

Beberapa rumah tradisional kaki seribu sudah dimodifikasi menjadi rumah semi permanen. Warga juga membangun rumah-rumah permanen untuk ditinggali. Perkampungan orang Arfak didirikan tak jauh dari kebun-kebun mereka yang ditanami aneka sayuran. Ada yang sedang bekerja di kebun saat kami melintas. Para perempuan Arfak memanggul sayuran yang dibungkus dengan karung lalu dijual di pinggir jalan menanti calon pembeli yang melintas. Hasil panen sayur dalam jumlah besar biasanya dijual ke pasar di Manokwari.

Warga yang berdiri di pinggir jalan meneriakan kata “cem, cem, cem” sebagai ucapan selamat kepada kendaraan yang melewati kampung mereka. Pada beberapa perkampungan yang kami lewati, warga memasang rangkaian umbul-umbul dan spanduk yang berisi ucapan selamat kepada Gubernur Papua Barat yang membuka Festival Arfak yang pertama di Anggi. Beberapa spanduk juga tertulis dalam bahasa daerah setempat.

Mobil kami terus melaju hingga berhenti di satu perbukitan yang di sisinya terlihat panorama yang mengagungkan. Ada lembah dan jurang sedalam ratusan meter. Di tempat ini ada beberapa mobil sudah lebih dahulu berhenti untuk beristirahat sejenak. Mobil yang mengangkut serombongan wartawan TV swasta nasional dari Jakarta juga berhenti untuk mengambil gambar pemandangan dari ketinggian. Mereka akan meliput event Festival Arfak di Anggi.

Sopir kami lalu memerintahkan semua penumpang turun untuk membuang hajat sekaligus mengisi perut kami yang keroncongan. Setelah memotret pemandangan beberapa kali, saya kemudian diberi sebungkus nasi oleh seorang penumpang perempuan untuk disantap. Nasi bungkus itu saya santap dengan lahapnya hingga kenyang. Setelah puas karena kekenyangan, kami melanjutkan perjalanan yang berlika-liku ini dengan diselimuti kabut tebal.    

Setelah menerobos lereng-lereng Pegunungan Arfak yang berat, kami akhirnya tiba di Anggi dengan perasaan lega. Meski saya sempat menggerutu karena jaket tebal yang saya kenakan basah terkena hujan di perjalanan. Mobil kami kemudian berhenti di salah satu barak perumahan yang sudah selesai dibangun untuk para pegawai. Waktu di handphone saya menunjukan pukul 17.50 sore.  Seluruh penumpang turun dan mengevakuasi barang bawaan ke beberapa kamar yang sudah disediakan. Ketika kami tiba, gerimis dan kabut masih menyelimuti lembah Anggi hingga menjelang malam.

***

Secara keseluruhan kawasan Pegunungan Arfak membentang seluas 68.325,00 hektar. Kawasan ini terbagi menjadi tiga tipe ekosistem hutan yang beragam:  hutan hujan dataran rendah (lowland forest), hutan hujan kaki gunung (foothill forest) dan hutan hujan lereng pegunungan (lower montane forest). Perbedaan zona ekosistem itu membuat kawasan Pegunungan Arfak kaya akan keanekaragaman hayati bernilai tinggi. Tidak hanya itu daerah ini juga terkenal oleh kesuburannya.

Berdasarkan karakteristik itulah, Pemerintah RI di tahun 1992 telah menetapkannya menjadi kawasan Cagar Alam (CA) Pegunungan Arfak melalui keputusan Menteri Kehutanan No. 783/Kpts-II/1992 tertanggal 11 Agustus 1992. Kawasan ini mencakup 8 wilayah Distrik seperti; Menyambouw, Membey, Hingk, Tanah Rubuh, Warmare, hingga Ransiki dan Oransbari yang masuk dalam wilayah kabupaten pemekaran Manokwari Selatan. 

Secara historis Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) merupakan pemekaran dari Kabupaten Manokwari yang disahkan pada 25 Oktober 2012 berdasarkan UU RI Nomor 24 tahun 2012. Luas wilayahnya mencapai 2.773 km persegi dengan jumlah penduduk 23.887 jiwa dan mayoritas (99.8%) beragama Kristen. Kabupaten ini mayoritas di diami oleh suku besar Arfak yang terdiri dari 4 sub suku: Hatam, Meyah, Moire dan Soub. Keempat sub suku ini tersebar di 10 distrik (kecamatan) seperti: Anggi, Anggi Gida, Didohu, Minyamouw, Sururey, Taige, Testege, Catuouw, Hingk dan Membew.

Populasi orang Arfak juga menyebar hingga ke wilayah Kabupaten Tambrauw dan Manokwari Selatan. Sejak pemekaran Kabupaten Pegunungan Arfak, Anggi dipilih menjadi ibukota karena letaknya yang strategis. Berada diantara kepungan pegunungan Arfak yang menjulang. Kota Anggi dihuni oleh sekitar 8000 penduduk yang menyebar tidak merata. Di sini dapat dijumpai danau perempuan atau disebut ‘Anggi Gida’ dan danau laki-laki yang disebut ‘Anggi Giji.’ Dua danau eksotis ini dipisahkan oleh perbukitan sedang yang merupakan bagian dari rangkaian formasi Pegunungan Arfak.

Ketika saya bersama rombongan dari Manokwari tiba di Anggi pada sore hari, event Arfak Festival yang pertama sudah dibuka secara resmi oleh Gubernur Papua Barat, Abraham Octovianus Atururi pada siang hari. Acara pembukaan itu sempat terhalang guyuran hujan. Warga sempat menyambut rombongan pejabat dengan atraksi tari-tarian, termasuk tarian diatas sebuah rumah kaki seribu yang sengaja di dirikan di jalan utama untuk menghibur wisatawan yang hadir. 

Di hari pertama saya tiba di Anggi, saya tidak tinggal sebarak dengan rombongan yang bersama saya datang. Karena saat tiba saya langsung mengevakuasi tas ransel saya dan mencari para pengunjung di Anggi yang saya kenal. Saya beruntung karena menemukan beberapa teman yang mau membantu saya bermalam bersama mereka. Sialnya semua barak yang disediakan untuk tamu dari Manokwari sudah terisi penuh.

Saya terpaksa melewatkan malam pertama di Anggi dengan menumpang tidur dalam suasana penuh kedinginan di dalam sebuah mobil Hilux yang dicarter rombongan Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. Malam itu saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Udara dingin terasa menusuk sumsum dan tulang. Saya memang sempat membeli sebuah baju ‘sweater’ dari toko kecil di Anggi sewaktu tiba, pengganti jaket saya yang basah. Tapi sweater ini tak mampu menangkal udara dingin.    

Meski begitu saya bisa melewati malam pertama penuh kedinginan di Anggi. Esok paginya, Jumat 13 November 2015, saya dibangunkan oleh udara dingin yang tak kalah garangnya. Kabut pagi baru saja berlalu. Wajah sang surya mulai tampak di balik gunung. Saya diajak beberapa teman mandi di sungai yang mengalir tak jauh dari lokasi barak pegawai. Tapi suhu air di sungai ini dinginnya nyaris melebihi suhu air di dalam lemari es.

Saya dan beberapa teman terpaksa menunda niat untuk mandi pagi. Kami hanya mencuci muka lalu berfoto dengan dilatari sungai dan lekukan alam pegunungan. Setelah itu kami berjalan menuju dapur umum yang didirikan panitia untuk menyediakan sarapan pagi, makan siang dan makan malam bagi para tamu. Dapur umum ini didirikan di samping Kantor Bupati Pegaf. Hidangan pagi yang gratis di hari kedua ini membuat saya tak perlu merogoh kocek untuk makan.

Setelah sarapan, saya diajak berkeliling melihat situasi Kota Anggi yang mulai ramai dengan geliat pembangunan. Orang Arfak disini masih mempertahankan rumah tradisional kaki seribu mereka. Meski ada yang sudah menempati rumah permanen atau merubah bentuk alami rumah kaki seribu mereka menjadi sedikit modern. Mereka menanam berbagai jenis sayuran di halaman rumah seperti; daun bawang, kol, wortel, kentang, tomat dan lain-lain.

Ada pasar yang dibangun untuk menopang aktivitas ekonomi masyarakat lokal. Ada sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Ada puskesmas dan sejumlah fasilitas olahraga sederhana seperti lapangan sepak bola dan voly. Pemda Kabupaten Pegunungan Arfak juga mulai membangun dan menata pemukiman masyarakat dan infrastruktur jalan, walaupun jalan kota belum beraspal.

Saya juga diajak mengunjungi lapangan terbang perintis Snomeba yang panjangnya satu kilometer lebih. Landasan pacu (run way) lapter ini terbuat dari semen dan memanjang hingga mendekati bibir danau Anggi. Dari cerita warga, lapter ini dulunya hanya berupa rerumputan diatas tanah berawa di pinggir danau. Sebelum dirintis tahun 1980-an, para misionaris yang melayani orang Arfak di Anggi menggunakan pesawat jenis amfibi yang mendarat di permukaan kulit air danau Anggi. Bila tidak, perjalanan ke Anggi harus ditempuh dengan berjalan kaki selama berhari-hari dari Manokwari atau sebaliknya.

Sehabis berkeliling melihat situasi Kota Anggi, saya diajak kembali ke barak tempat para tamu menginap. Di jalanan tampak motor-motor trail yang dikendarai para pembalap dari sejumlah daerah mulai beraksi. Mereka menguji mesin dan berlatih pengenalan medan sebelum perlombaan. Di tengan jalan saya sempat bertemu dan diajak bergabung dengan serombongan fotografer yang diangkut sebuah mobil hilux menuju spot-spot berpemandangan menarik. Mereka bermaksud mengabadikan kawasan sekitar danau Anggi dengan lensa camera.   

Saya merasa beruntung karena bisa bersama rombongan fotografer yang berasal dari sejumlah daerah ini. Diantara mereka ada pasangan suami-istri yang berasal dari Raja Ampat. Seorang pria diantara dua pasangan ini merupakan kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Raja Ampat. Sementara seorang wanitanya berprofesi sebagai dokter. Mereka sengaja datang ke Anggi untuk mengabadikan moment Festival Arfak dalam tim fotografer yang mengusung tema “Pesona Indonesia 2015”.

Kami sempat mengabadikan pemandangan danau Anggi Giji dan Gida yang memukau dari beberapa bukit. Tidak hanya itu, kami juga memotret pemandangan unik rumah-rumah tradisional kaki seribu yang masih kokoh berdiri diantara perkampungan mungil yang berada di tepian danau. Masyarakat setempat menyambut kami dengan ramah, Mereka juga sempat membuat atraksi tari ular dengan formasi bergandengan tangan. Atraksi ini dilakukan di sebuah kampung yang berada di tepi danau Anggi Giji.

Dalam atraksi itu para pria mengenakan cawat sambil memegang busur, anak panah dan parang. Sedangkan para wanitanya mengenakan kain kebaya, noken dan pada leher mereka berkalung manik-manik. Mereka sengaja membuat atraksi tersebut agar bisa menghibur para wisatawan yang datang, sekaligus bisa diabadikan oleh lensa para fotografer maupun kameramen TV yang meliput event Festival Arfak.

Kembang-kembang di pesisir danau Anggi yang sedang bermekaran di bulan November juga tak luput dari jepretan camera kami. Saya juga sempat memotret para pembalap (racer) bersama motor trail mereka yang melintas dengan kecepatan tinggi di jalan yang digusur melingkari perbukitan di tepian danau. Jalan melingkar ini memang dibuat sebagai jalur tracking untuk balapan motor maupun sepeda gunung. Sebab para racer akan disuguhkan dengan pemandangan memukau danau Anggi Giji dan Gida yang membiru di kejauhan.

Selepas memotret sejumlah spot menarik, kami kembali ke pusat kota Anggi untuk menyaksikan  perlombaan merangkai bunga. Ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam Festival Arfak, selain atraksi seni budaya tari-tarian, lomba fotografi, balapan sepeda gunung dan perlombaan motor cross. Sebelumnya kami sempat beristirahat untuk makan siang bersama. Setelah itu melanjutkan aktivitas fotografi, memotret perlombaan merangkai bunga yang diikuti para ibu-ibu Dharma Wanita dari sejumlah instansi di lingkup Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Perlombaan merangkai bunga ini cukup meriah. Kembang-kembang untuk dirangkai diambil dari deretan vegetasi di sekitar danau Anggi. Namun sayangnya saya tidak menemukan satu pun seorang perempuan Arfak terlibat dalam perlombaan ini. Karena penasaran saya lantas menanyakan ini kepada seorang tokoh pemuda Arfak setempat. “Kegiatan FestivalArfak ini memang dibuat tanpa melibatkan masyarakat lokal secara langsung,” kata pemuda ini mengkritik.

Menurutnya, Festival Arfak yang ke I ini pun terkesan dibuat hanya untuk menghabiskan anggaran sisa akhir tahun 2015 dengan memanfaatkan keindahan alam dan keunikan budaya suku Arfak di Anggi. Di sela-sela perlombaan merangkai bunga ini, saya juga menyempatkan waktu berbincang-bincang dengan kepala suku besar Arfak, Dominggus Mandacan, yang turut hadir.

Bagi dia, event ini mestinya dijadikan moment berharga untuk mempromosikan keunikan budaya suku Arfak dan panorama alam di kawasan ini. “Tapi yang lebih penting, masyarakat lokal tidak diabaikan dan dapat menjadi bagian penting di dalamnya,” kata Mandacan yang pernah menjadi bupati Manokwari selama dua periode. Ia juga sempat menduduki jabatan penjabat bupati Kabupaten Pegunungan Arfak sejak wilayah ini mekar.

Dominggus Mandacan berharap, para fotografer dan wartawan media cetak maupun elektronik yang datang dapat mempromosikan kawasan Pegunungan Arfak ke pentas nasional maupun internasional. Yakni sebagai salah satu destinasi wisata pegunungan yang diunggulkan di Provinsi Papua Barat, selain Raja Ampat dengan destinasi wisata baharinya. Selaku tokoh masyarakat Arfak, dia juga berharap agar dalam pelaksanaan Festival Arfak yang berikutnya, sejumlah hal penyokong event ini bisa disiapkan dengan matang. Misalnya jenis kegiatan, termasuk fasilitas penunjang bagi para tamu. 

Setelah menyaksikan perlombaan merangkai bunga, saya beralih menuju lokasi sebuah rumah kaki seribu yang didirikan untuk menarik para pengunjung. Hari menjelang sore ketika lokasi yang saya tuju ini sudah dipenuhi kerumunan penonton yang tak ingin melewatkan kesempatan menyaksikan atraksi tarian di atas rumah kaki seribu. Tampak sejumlah fotografer dan wartawan TV swasta nasional maupun lokal sudah berkumpul. Mereka hendak mengabadikan atraksi tarian ini yang melibatkan orang Arfak sendiri.

Para wartawan TV juga mewawancarai penjabat bupati Pegaf, Yusak Wabia. Sementara saya bersama sejumlah fotografer sibuk memotret para penari diatas rumah kaki seribu yang mengenakan pakaian tradisional. Setelah puas mengabadikan moment ini, saya berpindah ke sebuah lapangan berumput yang tak jauh dari pos tentara dan polisi di Anggii untuk menyaksikan pertandingan futsal.     

Setelah hari menjelang malam, kondisi udara kembali dicekam hawa kedinginan. Kali ini saya harus mencari tempat tumpangan lain agar bisa nyaman beristirahat untuk melewatkan malam kedua. Perut saya mulai keroncongan. Saya lalu mencari warung sederhana terdekat yang dimiliki oleh warga non Papua asal Jawa. Pemilik warung ini menghidangkan saya seporsi nasi kuning ditemani ayam kuah sebagai lauknya. Tidak ada sayur sebagai tambahan. Saya juga dibuatkan teh hangat untuk mengusir hawa dingin yang mulai merasuki tubuh. Hidangan ini saya santap dengan penuh syukur.   

Pemilik warung ini kelihatan ramah. Dia bersama istrinya mengajak saya berbincang-bincang sambil makan. Kedua pasutri yang sudah renta ini sempat menanyakan tujuan saya ke Anggi. Saya menjelaskan kalau saya seorang wartawan fotografer dari Jayapura yang datang untuk menyaksikan moment Festival Arfak yang pertama. Mereka memberitahu saya bahwa warung tempat usahanya sekarang merupakan bekas pos TNI AD yang disewa untuk dijadikan rumah tinggal, sekaligus sebagai tempat usaha warung nasi kuning. Bangunannya berbentuk rumah papan.

Dari mereka berdua dan beberapa pedagang non Papua yang saya temui sebelumnya, saya bisa ketahui bahwa Pemda Kabupaten Pegaf memberlakukan Perda yang melarang orang Arfak menjual tanahnya. Tanah hanya disewakan kepada para pendatang yang ingin mendirikan bangunan dan usaha. Setelah menyantap hidangan dan membayar ongkosnya, saya kemudian bertanya kepada pemilik warung mengenai tempat untuk menonton TV dan berita malam. Sekaligus tempat menumpang untuk melepaskan rasa kantuk yang makin berkecamuk.

Mereka menyarankan saya pergi ke Pos TNI AD yang berada hanya beberapa langkah kaki dari warung mereka. Saya segera bergegas menuju pos TNI yang dimaksud. Disitu ada beberapa orang tentara bersama komandan mereka sedang duduk berjaga-jaga sambil menonton TV. Saya mengucapkan selamat malam, seraya meminta kesediaan mereka untuk mengijinkan saya menumpang nonton. Permintaan saya direstui. Tapi itu  setelah mereka mendengar jawaban saya yang menjelaskan pertanyaan mereka tentang profesi dan tujuan saya ke Anggi.

Kami sempat terlibat diskusi ringan yang menarik tentang banyak hal. Termasuk mengenai penyelenggaraan Festival Arfak. Seorang prajurit sempat menawarkan membuatkan kopi panas untuk menolak rasa kantuk dan kedinginan yang sedang menyelimuti tubuh saya. Setelah kopi dibuatkan, kami melanjutkan diskusi hingga hampir tengah malam. Setelah itu saya diijinkan bermalam di pos mereka dengan menempati kamar tidur para prajurit.

Sebuah kasur yang masih baru pun menjadi landasan saya merebahkan tubuh dari rasa kantuk yang kian menyiksa malam itu. Hawa kedinginan yang dihempaskan angin Pegunungan Arfak juga terasa menggetarkan seluruh tubuh saya di malam kedua saya berada di Anggi. Hawa dingin malam di tempat ini memang menyiksa fisik dan mental. Meski tempat tidur saya nyaman karena kasur yang empuk, namun saya tersiksa oleh kedinginan.

Saya akhirnya dapat melewatkan malam kedua yang dingin di pos TNI AD di Anggi. Di tengah keramahan dan kebaikan hati para prajurit TNI. Esok paginya saya bergegas bangun, mencuci muka lalu  menyiapkan diri. Saya mengendong tas ransel kemudian berpamintan dan menyampaikan terima kasih kepada para prajurit TNI atas kebaikan mereka.

Saya kemudian menikmati sarapan pagi yang disediakan di dapur umum. Lalu bergegas menuju arena start perlombaan sepeda gunung. Di arena start, para peserta yang bersemangat sudah bersiap-siap dengan sepeda mereka masing-masing. Jumlah mereka ada puluhan. Diantara mereka ada peserta paling termuda dan tertua. Peserta termuda usianya 9 tahun dan tertua berusia 70 tahun. Perlombaan ini dibuka penjabat bupati Pegaf,Yusak Wabia dengan menembakan pistol ke udara sebanyak satu kali.

Kompetisi sepeda gunung ini melewati jalur tracking di sepanjang perbukitan sekitar danau Anggi yang sebelumnya digunakan sebagai arena latihan bagi para crosser. Saya sempat mengabadikan moment start perlombaan ini, namun tidak memantaunya hingga usai. Saya juga tidak sempat menyaksikan perlombaan motor cross yang diselenggarakan di hari penutupan Arfa Festival, Minggu 15 November 2015. Maupun tidak menyaksikan perayaan hari ulang tahun Kabupaten Pegaf yang jatuh pada Senin 16 November 2015. 

Sebab setelah mengikuti pembukaan lomba sepeda gunung, saya segera bergerak ke jalan utama di depan Kantor Bupati Pegaf untuk mencari kendaraan pulang ke Manokwari. Nasib saya masih beruntung. Seorang ibu Papua yang saya temui di arena start perlombaan sepeda gunung menawarkan saya menumpang mobil yang akan membawa mereka ke Manokwari.

Saya lalu mengikuti perempuan ini menuju barak penampungan mereka. Di sana ada sebuah mobil strada sedang terpakir menunggu barang-barang dinaikan. Saya diberitahu bahwa rombongan yang mobilnya akan saya tumpangi merupakan para pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Barat.

Mereka juga ikut berpartisipasi dalam event Arfak Festival, namun memilih pulang lebih awal sebelum event ini ditutup. Sopir menyuruh saya duduk di bagian dalam mobil, tapi saya lebih memilih duduk di bagian belakang luar agar bisa memotret pemandangan sepuasnya selama perjalanan pulang. Saya menaruh tas ransel bersama barang titipan lain milik seorang anggota brimob yang bertugas di Anggi. Barang-barang itu ditutupi terpal agar tidak terkena hujan.

Sopir menghidupkan mesin mobil dan kami akhirnya bergerak pulang di hari itu, Sabtu 14 November 2015, pukul 10 pagi. Saya sendirian duduk di belakang mobil sambil memegang camera. Kali ini saya tidak perlu bersusah-susah duduk di belakang mobil seperti saat perjalanan ke Anggi. Sebab rombongan Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Papua Barat yang mobil mereka saya tumpangi dari Manokwari sudah bergerak pulang. Mereka bergerak sejam lebih awal dari kami di hari yang sama.

Setelah mobil kami berpacu meninggalkan Anggi dalam jarak beberapa kilometer, seorang penumpang sempat memberhentikan mobil kami di tengah jalan untuk menumpang ke Warmare. Penumpang ini menemani saya duduk di belakang mobil bersama barang-barang lain. Dalam perjalanan selanjutnya mobil kami juga berhenti untuk mengangkut seorang perempuan Arfak di kampung Minyambouw. Dia membawa dua karung muatan penuh sayur kol yang akan di jual di Manokwari. Perempuan ini tampak senang karena bisa mendapat tumpangan.

Kami bertiga duduk di belakang saat mobil melaju menuruni kawasan Pegunungan Arfak yang terjal. Hujan sempat menguyur kawasan ini sehingga membuat kami yang duduk di belakang kerepotan. Untung ada terpal yang disediakan sopir sebagai pengaman terpaan hujan. Dalam suasana kedinginan dan sedikit gemetaran karena kehujanan, mobil kami terus melaju hingga sampai di Warmare. Disini kami menurunkan seorang penumpang yang berencana melanjutkan perjalanan ke tempat lain.

Selanjutnya mobil kami terus bergerak hingga tiba di Kota Manokwari pada siang hari menjelang sore. Sopir kemudian menurunkan semua penumpang di tempat tujuan masing-masing. Pada malam hari sebelum melepaskan lelah di tempat tidur, saya merenungkan perjalanan selama tiga hari di Anggi Pegunungan Arfak dengan penuh rasa syukur. Berharap kelak akan kembali. (Julian Howay)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun