Mohon tunggu...
Julian Haganah Howay
Julian Haganah Howay Mohon Tunggu... Freelancer - Journalist and Freelance Writer

Journalist, freelance writer and backpacker. "Menulis untuk pencerahan, pencerdasan dan perubahan.."

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Memori Arfak Festival Yang Pertama

8 Februari 2016   22:30 Diperbarui: 9 Februari 2016   14:38 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehabis berkeliling melihat situasi Kota Anggi, saya diajak kembali ke barak tempat para tamu menginap. Di jalanan tampak motor-motor trail yang dikendarai para pembalap dari sejumlah daerah mulai beraksi. Mereka menguji mesin dan berlatih pengenalan medan sebelum perlombaan. Di tengan jalan saya sempat bertemu dan diajak bergabung dengan serombongan fotografer yang diangkut sebuah mobil hilux menuju spot-spot berpemandangan menarik. Mereka bermaksud mengabadikan kawasan sekitar danau Anggi dengan lensa camera.   

Saya merasa beruntung karena bisa bersama rombongan fotografer yang berasal dari sejumlah daerah ini. Diantara mereka ada pasangan suami-istri yang berasal dari Raja Ampat. Seorang pria diantara dua pasangan ini merupakan kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Raja Ampat. Sementara seorang wanitanya berprofesi sebagai dokter. Mereka sengaja datang ke Anggi untuk mengabadikan moment Festival Arfak dalam tim fotografer yang mengusung tema “Pesona Indonesia 2015”.

Kami sempat mengabadikan pemandangan danau Anggi Giji dan Gida yang memukau dari beberapa bukit. Tidak hanya itu, kami juga memotret pemandangan unik rumah-rumah tradisional kaki seribu yang masih kokoh berdiri diantara perkampungan mungil yang berada di tepian danau. Masyarakat setempat menyambut kami dengan ramah, Mereka juga sempat membuat atraksi tari ular dengan formasi bergandengan tangan. Atraksi ini dilakukan di sebuah kampung yang berada di tepi danau Anggi Giji.

Dalam atraksi itu para pria mengenakan cawat sambil memegang busur, anak panah dan parang. Sedangkan para wanitanya mengenakan kain kebaya, noken dan pada leher mereka berkalung manik-manik. Mereka sengaja membuat atraksi tersebut agar bisa menghibur para wisatawan yang datang, sekaligus bisa diabadikan oleh lensa para fotografer maupun kameramen TV yang meliput event Festival Arfak.

Kembang-kembang di pesisir danau Anggi yang sedang bermekaran di bulan November juga tak luput dari jepretan camera kami. Saya juga sempat memotret para pembalap (racer) bersama motor trail mereka yang melintas dengan kecepatan tinggi di jalan yang digusur melingkari perbukitan di tepian danau. Jalan melingkar ini memang dibuat sebagai jalur tracking untuk balapan motor maupun sepeda gunung. Sebab para racer akan disuguhkan dengan pemandangan memukau danau Anggi Giji dan Gida yang membiru di kejauhan.

Selepas memotret sejumlah spot menarik, kami kembali ke pusat kota Anggi untuk menyaksikan  perlombaan merangkai bunga. Ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam Festival Arfak, selain atraksi seni budaya tari-tarian, lomba fotografi, balapan sepeda gunung dan perlombaan motor cross. Sebelumnya kami sempat beristirahat untuk makan siang bersama. Setelah itu melanjutkan aktivitas fotografi, memotret perlombaan merangkai bunga yang diikuti para ibu-ibu Dharma Wanita dari sejumlah instansi di lingkup Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Perlombaan merangkai bunga ini cukup meriah. Kembang-kembang untuk dirangkai diambil dari deretan vegetasi di sekitar danau Anggi. Namun sayangnya saya tidak menemukan satu pun seorang perempuan Arfak terlibat dalam perlombaan ini. Karena penasaran saya lantas menanyakan ini kepada seorang tokoh pemuda Arfak setempat. “Kegiatan FestivalArfak ini memang dibuat tanpa melibatkan masyarakat lokal secara langsung,” kata pemuda ini mengkritik.

Menurutnya, Festival Arfak yang ke I ini pun terkesan dibuat hanya untuk menghabiskan anggaran sisa akhir tahun 2015 dengan memanfaatkan keindahan alam dan keunikan budaya suku Arfak di Anggi. Di sela-sela perlombaan merangkai bunga ini, saya juga menyempatkan waktu berbincang-bincang dengan kepala suku besar Arfak, Dominggus Mandacan, yang turut hadir.

Bagi dia, event ini mestinya dijadikan moment berharga untuk mempromosikan keunikan budaya suku Arfak dan panorama alam di kawasan ini. “Tapi yang lebih penting, masyarakat lokal tidak diabaikan dan dapat menjadi bagian penting di dalamnya,” kata Mandacan yang pernah menjadi bupati Manokwari selama dua periode. Ia juga sempat menduduki jabatan penjabat bupati Kabupaten Pegunungan Arfak sejak wilayah ini mekar.

Dominggus Mandacan berharap, para fotografer dan wartawan media cetak maupun elektronik yang datang dapat mempromosikan kawasan Pegunungan Arfak ke pentas nasional maupun internasional. Yakni sebagai salah satu destinasi wisata pegunungan yang diunggulkan di Provinsi Papua Barat, selain Raja Ampat dengan destinasi wisata baharinya. Selaku tokoh masyarakat Arfak, dia juga berharap agar dalam pelaksanaan Festival Arfak yang berikutnya, sejumlah hal penyokong event ini bisa disiapkan dengan matang. Misalnya jenis kegiatan, termasuk fasilitas penunjang bagi para tamu. 

Setelah menyaksikan perlombaan merangkai bunga, saya beralih menuju lokasi sebuah rumah kaki seribu yang didirikan untuk menarik para pengunjung. Hari menjelang sore ketika lokasi yang saya tuju ini sudah dipenuhi kerumunan penonton yang tak ingin melewatkan kesempatan menyaksikan atraksi tarian di atas rumah kaki seribu. Tampak sejumlah fotografer dan wartawan TV swasta nasional maupun lokal sudah berkumpul. Mereka hendak mengabadikan atraksi tarian ini yang melibatkan orang Arfak sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun