Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan segera menyuntikkan dana jumbo sebesar US$1,84 miliar atau Rp30,5 triliun (asumsi kurs Rp16.606 per dolar AS) ke PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk.
Penyuntikan dana tersebut akan dilakukan melalui skema Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) alias private placement oleh anak usaha Danantara yaitu PT Danantara Asset Management atau DAM. Rencana besar ini akan dibawa pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk meminta persetujuan para pemegang saham, November mendatang.
Konon kabarnya, dana hasil private placement tersebut akan dialokasikan untuk mendukung keberlangsungan usaha perseroan dan anak usahanya, Citilink. Penggunaannya mencakup pembiayaan modal kerja, perawatan pesawat, ekspansi armada, serta pembayaran utang bahan bakar Citilink.
Suntik dana atau Suntik mati?Â
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya bulan Juni 2025, Danantara juga melalui PT DAM sebenarnya sudah menyuntikkan dana sebesar Rp6,65 triliun ke Garuda. Saat itu, Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria yang kemarin baru saja dilantik Presiden Prabowo menjadi Kepala BP BUMN, mengatakan bahwa langkah tersebut merupakan wujud dari pendekatan baru dalam restrukturisasi dan transformasi Garuda di bawah pengelolaan Danantara Indonesia.Â
Sejak dulu, setiap kali tersiar berita pemerintah (sebelum dibentuknya Danantara) berencana menyuntikkan dana ke Garuda Indonesia, pasti akan langsung mendapat sorotan tajam dari publik. Selalu muncul pertanyaan mendasar dan sangat penting, sampai kapan pemerintah harus menanggung beban mempertahankan BUMN-BUMN yang dari sisi bisnisnya selalu merugi seperti Garuda Indonesia.Â
Buat yang penasaran, silakan cek di mesin pencari google untuk melihat historis kinerja perusahaan ini dari tahun ke tahun, termasuk masalah-masalah di dalamnya.Â
Perusahaan BUMN kita memang bisa dikategorikan menjadi dua kategori besar yaitu: Pertama, BUMN yang selalu mencatatkan keuntungan dan rutin memberikan dividen triliiunan rupiah ke negara (misalnya Bank-bank Himbara, Telkom, perusahaan tambang semisal Bukit Asam, Antam). Kedua, BUMN yang terlalu sering atau bahkan bisa dikatakan rutin mencatatkan kerugian. Selain Garuda Indonesia, perusahaan yang masuk kategori ini adalah BUMN yang bergerak di sektor farmasi dan beberapa BUMN Karya (konstruksi).
Terhadap perusahaan-perusahaan merugi tersebut, pemerintah memilih menyuntikkan dana segar melalui berbagai skema untuk memastikan agar operasional perusahaan tersebut bisa terus berjalan.
Ini yang terus menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan publik. Pemasukan negara salah satunya melalui dividen yang diterima dari beberapa BUMN "sehat" sebagian besar akan langsung tersedot dan disalurkan ke BUMN-BUMN "sakit". Pertanyaannya, sampai kapan ini akan terus dilakukan?
Kondisi semacam ini yang akhirnya membuat sebagian kalangan melontarkan ide yang lebih jelas dan lugas; daripada harus terus menerus menanggung beban BUMN "sakit" tersebut dan terpaksa menyuntikkan dana triliunan setiap tahun, mengapa pemerintah tidak melakukan "suntik mati" saja?
Secara logika dan prinsip bisnis, sebenarnya masuk akal. Buat apa mati-matian mempertahankan perusahaan yang jelas-jelas dari sisi bisnisnya tak pernah menguntungkan, alih-alih malah terus menjadi beban dan selalu menyedot pendanaan?Â
Perusahaan seperti Garuda Indonesia, jangankan menghasilkan pemasukan buat keuangan negara bahkan untuk menjalankan operasionalnya saja mereka tak mampu dan akhirnya membuat pemerintah yang harus merogoh kocek lebih dalam. Ini sudah seperti investasi "bodong", bukannya untung malah buntung. Â Â Â Â
Alasan nasionalismeÂ
Ide untuk melakukan "suntik mati" terhadap BUMN bermasalah seperti Garuda Indonesia memang takkan mudah dilakukan. Selalu muncul alasan-alasan berkaitan nasionalisme, bahwa Garuda Indonesia adalah simbol kebanggaan Indonesia dan sebagainya. Dengan bahasa yang lebih heroik dan patriotik, dana triliunan rupiah takkan pernah sebanding dengan kebanggaan dan nasionalisme.
Dari beberapa literatur yang ada, bisnis sektor penerbangan memang masuk dalam kategori yang tak terlalu menguntungkan. Modal bisnis operasionalnya sangat besar dan rumit namun margin keuntungan yang bisa dihasilkan kecil.
Pengamat penerbangan, Alvin Lie menyebutkan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bisnis maskapai merupakan bisnis paling mahal namun minim keuntungan. Alvin menyebutkan, keuntungan atau margin perusahaan maskapai bahkan hanya 3-4 persen saja.
Padahal perusahaan harus mengeluarkan banyak dana untuk operasionalnya. Pengeluaran terbesar sebuah pesawat dalam satu kali penerbangan adalah avtur, yang mencapai 30-35 persen. Pengeluaran lainnya yaitu biaya parkir pesawat, biaya sewa garbarata, biaya ground staff, asuransi pesawat, perawatan pesawat, gaji para kabin, dan sebagainya.
Saya jadi teringat pernyataan Lo Kheng Hong, investor saham sukses yang mengatakan bahwa salah satu prinsip yang dianutnya saat memilih saham adalah perusahaan yang lini bisnisnya sederhana namun jelas menghasilkan cuan.
Ia pernah membandingkan bisnis rumit berbiaya tinggi seperti misalnya bisnis penerbangan atau telekomunikasi dengan perusahaan yang bisnisnya sangat sederhana misalnya perusahaan yang membuat pakan ternak. Faktanya, perusahaan dengan lini bisnis sederhana ini justru mampu menghasilkan margin keuntungan sangat tinggi, pernah sampai ratusan miliar rupiah per tahun.
Kembali lagi soal suntikan dana ke Garuda. Danantara Indonesia sebagai sebuah badan investasi yang dibentuk oleh negara seperti terjebak dilema karena harus mewarisi BUMN "sakit" semacam Garuda.
Logika prinsip mendasar investasi semestinya harus jelas proyeksi dan perhitungannya. Kinerja investasi bisa dikatakan berhasil hanya bila memberikan keuntungan. Pertanyaannya, bila tahun 2025 ini saja Danantara sudah menyuntikkan dana puluhan triliun rupiah ke Garuda, kira-kira butuh berapa tahun lagi agar dana tersebut bisa kembali?
Jangan-jangan dana tersebut memang sejak awal sudah "diikhlaskan" tidak akan pernah kembali dan tahun depan Danantara sudah harus memikirkan dan menyiapkan dana puluhan triliunan rupiah untuk disuntikkan lagi.
Bicara soal alasan nasionalisme, iseng saya mencari informasi di internet, ternyata negara sebesar Amerika Serikat (AS) justru tak memiliki maskapai penerbangan nasional (flag carrier). Amerika Serikat sudah melakukan deregulasi industri penerbangan bahkan sejak 1978.
Apakah itu membuat industri penerbangan disana mati? Justru sebaliknya. Maskapai penerbangan swasta justru bersaing dengan sehat dan bisa terus tumbuh besar disana. Salah satu maskapai juga ternyata masih tetap memajang nama "Amerika" layaknya nama "Indonesia" yang melekat pada Garuda.
Pertanyaan berikutnya, apakah sejak dilakukannya deregulasi industri penerbangan tersebut, Amerika Serikat bisa dikatakan sudah tidak punya jiwa nasionalis lagi?
Menurut hemat saya, pemerintah (melalui Danantara) sudah saatnya menimbang ulang secara serius terkait hal penting ini. Jangan sampai atas nama penyelamatan atau alasan-alasan lainnya, anggaran negara harus terus-menerus tersedot ke sektor yang jelas-jelas hanya menjadi beban keuangan negara.
Bila alasannya sekadar ingin menyelamatkan, harus jelas proyeksi dan sampai kapan batasan waktunya. Perusahaan juga harus dituntut agar berkinerja dan punya tanggung jawab menyehatkan perusahaannya. Â Â Â Â
Saya kira, bukankah lebih baik anggaran tersebut dialokasikan ke sektor (bisnis) yang berpotensi menambah pemasukan negara sehingga itu bisa digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Â
***
Jambi, 9 Oktober 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI