Mohon tunggu...
Ririn_AZR
Ririn_AZR Mohon Tunggu... Penikmat Tulisan

Ingin terus belajar, memperbaiki diri, dan menghargai hidup lebih dari saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semu

16 Desember 2012   07:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:34 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangan kanan itu menggerak-gerakkan kuas dengan luwes dan lincah. Kanvas yang semula putih kini sudah ternoda dengan goresan-goresan aneka warna. Tebal-tipis dan paduan warna yang digoreskan dilakukan dengan begitu cermat. Sudah cukup lama laki-laki itu bermain-main dengan kuasnya, tetapi ia merasa belum puas memulas kanvasnya. Ia tak beralih sesaat pun dari pekerjaannya sampai sebuah suara yang memanggil namanya terdengar.

“Alvin!”

Alvin menoleh ke kiri. Padangannya menembus jendela besar kamarnya yang ia biarkan terbuka. Didapatinya seorang gadis tersenyum di tepi jendela kamar yang berada di seberang kamar Alvin.

“Masih belum selesai?” tanya gadis itu kemudian. Seingatnya, saat ia menutup jendela sore tadi, Alvin sudah mulai berkutat dengan pekerjaannya itu.

Mengerti bahwa yang dimaksud gadis itu adalah tentang lukisan yang sedang dibuatnya sejak dua jam yang lalu, Alvin pun mengangguk untuk mengiyakan.

“Memangnya dari tadi kamu melukis apa, sih?”

“Semu,” balas Alvin singkat tanpa berhenti menyapukan kuasnya di kanvas. Laki-laki itu memang tidak terlalu banyak bicara. Tidak ekspresif, begitu menurut Ashilla, gadis yang tinggal tepat di samping rumahnya.

“Semu?” Ashilla mengulangi. Ia tampak berpikir jika melihat keningnya yang berkerut-kerut. Sepengetahuannya, tetangganya yang hobi melukis itu memang kadang aneh. Ashilla tidak tahu-menahu Alvin menganut aliran apa. Gadis itu bahkan sama sekali tidak mengerti tentang lukisan. Namun, Ashilla sering tidak habis pikir saat melihat hasil karya Alvin. Pernah suatu ketika Alvin memberi judul pada lukisannya “Kosong”, padahal yang terlihat di kanvas adalah sebuah jalan yang padat dengan kendaraan. Gadis itu bertanya kenapa, tetapi ia tidak merasa terjawab dengan alasan yang Alvin berikan hingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa seorang seniman mungkin memang agak sulit untuk dimengerti jalan pikirannya.

“Mau pergi?” Pertanyaan Alvin membuat Ashilla berhenti berpikir tentang apa sebenarnya wujud “semu” yang sedang dilukis laki-laki itu.

“Oh, iya,” jawab Ashilla.

Alvin diam. Tiga tahun bertetangga dengan gadis itu membuatnya tahu bahwa ia tak perlu bertanya apa-apa lagi karena tak lama setelah ini pasti gadis itu akan bercerita tanpa ia minta.

“Hari ini Cakka ulang tahun.” Ashilla mulai bercerita. “Kami mau merayakannya berdua,” terangnya kemudian.

Alvin dapat melihat dari ekor matanya senyum yang tersimpul di wajah gadis itu. Ashilla tampak bahagia.

Diam-diam Alvin menghela napas. Semoga gadis itu benar-benar bahagia, harapnya dalam hati.

“Aku membeli gitar sebagai kado dan aku kirimkan ke rumahnya tadi. Menurut kamu, dia akan suka?”

Seingat Alvin, Ashilla pernah bercerita tentang kesukaan Cakka bermain musik. Oh, tidak.Alvin bahkan masih ingat bagaimana antusiasnya gadis itu saat bercerita bahwa Cakka sangat pintar bermain beberapa alat musik: gitar, piano, drum, dan entah apa lagi. Juga saat gadis itu begitu bersemangat menceritakan bahwa Cakka menulis sebuah lagu untuknya kemudian menyanyikannya dengan iringan gitar. Alvin masih ingat semuanya… ingat bagaimana gadis itu terlihat sangat bahagia tiap kali membicarakan Cakka.

“Dia pasti suka. Kamu bisa tanyakan nanti untuk memastikan.” Alvin akhirnya menjawab setelah mendapati Ashilla ternyata masih menunggu ia menjawab pertanyaan yang mengudara satu-dua menit yang lalu itu.

Ashilla lalu tersenyum lagi, lega mendengar pendapat tetangganya itu. Namun, tak berselang lama, ia kembali tampak ragu dengan sesuatu.

“Hmm… Vin, menurut kamu bagaimana penampilan aku sekarang?” Ashilla mundur beberapa langkah agar Alvin dapat melihatnya secara keseluruhan.

Alvin kemudian berdiri dari duduknya dan meletakkan kuasnya. Diperhatikannya gadis berbalut gaun ungu selutut itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Alvin memfokuskan perhatiannya pada rambut Ashilla yang tergerai melewati bahu. Tidak perlu waktu lama bagi Alvin untuk memberikan pendapat. Baginya, Ashilla dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai selalu terlihat cantik. Tak peduli bagus atau jelek gaun yang gadis itu kenakan.

Ashilla tersenyum senang melihat Alvin mengacungkan kedua jempol ke arahnya. Acungan dua jempol yang Alvin tunjukkan sebagai pengganti kata-kata yang tak pernah bisa ia ucapkan pada gadis itu: kamu selalu terlihat cantik dan sempurna.

Alvin masih berdiri menghadap keluar jendela kamarnya saat Ashilla beralih mengambil sesuatu di ranjangnya. “Cakka,” tukas Ashilla sambil mengarahkan handphone-nya kepada Alvin, memberitahu bahwa ia harus menerima telepon dari Cakka.

Alvin tidak bisa mendengar apa yang gadis itu bicarakan dengan sang kekasih di telepon. Namun, ia tahu sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Senyum yang sedari tadi mengembang di wajah gadis itu perlahan memudar seiring pembicaraan mereka di telepon. Entah karena apa.

Mungkin hanya satu menit berlalu sampai akhirnya gadis itu menurunkan handphone-nya dari telinga lalu menunduk lesu. Senyumnya tak lagi bersisa.

“Kenapa?” Alvin tak bisa mencegah dirinya untuk bertanya kali ini.

“Cakka… dia akan merayakan ulang tahunnya bersama Sivia. Mendadak Sivia datang dari Aussie, memberinya surprise ulang tahun.”

Ashilla kemudian diam, masih mematrikan pandangannya ke bawah. Sementara itu, di seberang kamarnya, tanpa ia tahu, Alvin bisa merasakan. Laki-laki itu bisa merasakan kesedihannya.

“Dia sudah terima kadonya?”

“Dia cuma bilang terimakasih,” sahut Ashilla.

Alvin tahu bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana. Ini memang bukan pertama kalinya bagi Ashilla. Sebagai kekasih gelap Cakka, sudah beberapa kali ia harus merelakan dirinya dinomorduakan oleh laki-laki itu. Namun, melihat bagaimana antusiasnya Ashilla tadi, kekecewaan yang menderanya sekarang pasti sangat besar.

“Alvin, maaf. Aku mau menutup jendelaku sekarang.” Tanpa memandang Alvin, gadis itu berujar. Tangan-tangannya lalu bergerak meraih daun jendela yang terbuka. Sesaat sebelum jendela itu benar-benar tertutup rapat, Alvin berseru, “kamu bisa ke rumahku sekarang kalau kamu mau. Kita bisa minum cokelat hangat.”

“Terimakasih, Vin,” balas Ashilla yang diikuti dengan senyumnya. “Aku akan datang besok untuk melihat lukisan semu kamu,” sambungnya.

Jendela kamar Ashilla kemudian benar-benar tertutup dan Alvin tak lagi bisa melihat sosok Ashilla karena jendela itu tertutup tirai.

Alvin kembali duduk, menatap kanvasnya yang telah sempurna melukiskan sebuah wajah. Wajah gadis yang ia cintai.

Wajah Ashilla yang sedang tersenyum….

Senyum yang cantik, tetapi semu.

*****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun