[caption id="attachment_178111" align="aligncenter" width="300" caption="Desa Sirungkungon"][/caption]
Nama saya Sarma Manurung. Saya lahir di sebuah desa di tepi danau Toba. Namanya desa Sirungkungon
[caption id="attachment_178121" align="alignright" width="300" caption="Sebagian rumah tradisional di Sirungkungon tetap dipertahankan"]

Meskipun memiliki pemandangan yang indah, Sirungkungon bukanlah desa wisata. Tampaknya kami pun tidak berniat menjadikannya desa wisata. Kami cukup nyaman dengan kondisinya sekarang dimana sekitar sembilan puluh kepala keluarga tinggal disini. Ada yang memilih menjadi petani yang menanam bawang merah, coklat dan kopi. Ada pula yang memilih menjadi peternak ikan di danau, istilah Doton. Oiya, ada juga yang memilih menjadi pegawai di sebuah tambak raksasa milik pengusaha Swiss.
Setiap harinya ada kapal kecil yang pulang-pergi ke Ajibata, namanya kapal Demos. Dengan kapal ini,

penduduk membawa hasil pertanian atau perikanan ke Ajibata untuk dijual. Setiap hari Sabtu, kami menyebutnya hari Pekan, ada kapal besar yang datang ke Sirungkungon. Kapal itu akan singgah di beberapa desa di tepi danau Toba. Kapal itu memuat puluhan penumpang yang sama-sama bertujuan ke pasar untuk membeli kebutuhan selama seminggu.
Begitulah kira-kira kehidupan di desa kami. Tampak biasa-biasa saja. Tapi kami selalu yakin bahwa kehidupan yang biasa-biasa ini tidak pernah terlepas dari kebaikan luar biasa Sang Pencipta. Bagaimana Sang Pencipta menciptakan danau Toba dengan segala kekayaannya sehingga bisa menjadi sumber hidup kami, selalu menjadi alasan bagi kami untuk bersyukur. Rasa syukur yang selalu ditanamkan orang tua kepada kami. Kami selalu diharapkan untuk menjaga kelestarian alam kami supaya tetap bisa menjadi tempat hidup bagi kami dan keturunan kami kelak.
Saya teringat ketika masih kanak-kanak melihat hasil panen bawang merah orang tua kami. Bawangnya besar-besar, sampai-sampai saya dan beberapa teman sering mengambilnya untuk dijadikan mainan, semacam bola. Tapi sekarang agak berbeda. Sudah beberapa kali Uda (artinya saudara laki-laki ayah) saya gagal panen bawang, dia bilang “panasnya itu makin gak jelas, jadi rusak mereka semua”. Kalau mendengar cerita seperti itu saya sangat sedih karena pastinya bukan hanya Uda saja yang mengalaminya, pasti petani lain pun mengalami. Berdasarkan artikel-artikel yang saya baca tampaknya desa kami pun sudah menjadi imbas dari Global Warming. Hmm… padahal kehidupan kami selalu biasa-biasa saja, tetap saja kena imbasnya .
[caption id="attachment_178116" align="alignright" width="300" caption="Doton : digunakan untuk menangkap ikan"]

[caption id="attachment_178119" align="alignleft" width="300" caption="Gudang tambak raksasa di desa Sirungkungon"]

Menurut cerita bapak saya, tambak raksasa itu sudah menambah areal sewanya. Walaupun saya senang karena desa kami akan semakin ramai, tetap saja saya punya rasa takut. Saya takut kalau suatu ketika semua pinggiran desa kami ini akan disewa dan akhirnya kami tidak punya tempat berenang lagi. Padahal tempat berenang lah yang selalu kami banggakan tiap kali orang-orang dari Siantar atau Jakarta berkunjung ke desa kami. Anak-anak akan bilang “berenang lah disini, nggak usah bayar kayak ditempat kalian…”. Hmm… mudah-mudahan orang tua-orang tua kami tetap bijaksana dalam melaksanakan kontrak dengan pihak mana pun.
[caption id="attachment_178124" align="aligncenter" width="300" caption="Berenang di kolam renang maha luas"]

Itulah desa kelahiran saya. Tempat dimana saya selalu merasa nyaman. Merasakan betapa agung karya Tuhan. Merasakan betapa kecilnya saya di semesta ini. Juga merasakan bahwa perbuatan sekecil apa pun akan berdampak pada alam. Sekedar membuang bungkus sabun ke danau akan merusak komunitas ikan di danau. Alam semesta sudah menyediakan tempat ini untuk saya, yang bisa saya lakukan hanya menjaga kebersihannya. Saya tidak mau menjadi bagian dari perusak danau yang indah ini… Saya pun berharap orang lain tidak merusaknya dengan alasan apapun. Tidak dengan alasan tidak sengaja, atau dengan alasan pembangunan daerah. Saya selalu berharap pemerintah daerah menggunakan analisa yang matang sebelum member ijin untuk pembangunan sebuah tambak skala besar. Apakah alam masih bisa menerima “limbah” dari usaha-usaha itu. Apalah artinya membangun sesuatu demi menyelamatkan ekonomi satu generasi tetapi mengorbankan beberapa generasi dibawahnya ? …
